Thailand Serang Kamboja dengan F-16: Ribuan Warga Mengungsi, Perang Perbatasan Memanas!
- lifeworks
Ketegangan antara Thailand dan Kamboja kembali pecah menjadi bentrokan bersenjata setelah Angkatan Udara Thailand melakukan serangan udara ke wilayah Kamboja menggunakan jet tempur F-16. Insiden ini langsung menggemparkan kawasan Asia Tenggara dan memicu kekhawatiran akan pecahnya perang terbuka antar dua negara bertetangga tersebut.
Menurut laporan resmi militer Thailand, enam unit jet F-16 dikerahkan menuju wilayah perbatasan. Salah satunya kemudian menjatuhkan bom ke sebuah sasaran militer di dekat kuil kuno Ta Muen Thom—wilayah yang telah lama menjadi sengketa. Serangan ini disebut sebagai balasan atas tembakan artileri dan roket yang datang dari pihak Kamboja, yang menurut klaim Thailand, menyasar pemukiman warga sipil di Provinsi Surin.
Akibat dari serangan tersebut, sedikitnya dua warga sipil Thailand dilaporkan tewas. Beberapa lainnya luka-luka, termasuk anak-anak. Tak butuh waktu lama, konflik ini langsung membesar. Total korban jiwa dari kedua pihak disebut telah mencapai 9 hingga 12 orang, sebagian besar adalah warga sipil yang tidak terlibat langsung dalam konflik militer.
Tak hanya menimbulkan korban, serangan ini juga mendorong gelombang pengungsian besar-besaran. Pemerintah Thailand mengevakuasi lebih dari 40.000 orang dari 86 desa, terutama yang berada di jalur tembak perbatasan. Warga kini tinggal di tempat-tempat perlindungan sementara yang disediakan pemerintah daerah dengan pengamanan ketat dari militer.
Sementara itu, Pemerintah Kamboja mengecam keras tindakan militer Thailand. Mereka menyebut serangan tersebut sebagai pelanggaran berat terhadap kedaulatan dan hukum internasional. Tidak tinggal diam, Kamboja langsung membawa masalah ini ke Dewan Keamanan PBB dan meminta agar komunitas internasional turun tangan segera sebelum situasi semakin memburuk.
Dampak dari konflik ini juga sudah terasa pada hubungan diplomatik. Thailand menutup akses perbatasan darat dengan Kamboja, menarik duta besarnya dari Phnom Penh, dan secara resmi menurunkan tingkat hubungan bilateral. Situasi ini menjadi yang paling panas sejak bentrokan besar terakhir pada awal 2011 silam.
Latar Belakang Konflik
Ketegangan antara Thailand dan Kamboja bukan hal baru. Perbatasan sepanjang sekitar 800 kilometer antara kedua negara memang sering menjadi sumber konflik. Salah satu titik paling sensitif adalah di sekitar kuil-kuil kuno seperti Preah Vihear dan Ta Muen Thom.
Pada tahun 2013, Mahkamah Internasional (ICJ) telah menetapkan bahwa situs utama kuil Preah Vihear merupakan bagian dari wilayah Kamboja. Namun, sebagian wilayah di sekitarnya masih dipersengketakan hingga kini. Tak heran jika wilayah ini selalu menjadi sumber gesekan, terutama ketika sentimen nasionalisme sedang meningkat di dalam negeri masing-masing.
Ketegangan terbaru mulai mencuat sejak Mei 2025, saat seorang tentara Kamboja tewas dalam baku tembak di wilayah perbatasan. Insiden tersebut menjadi titik awal meningkatnya ketegangan yang kemudian berujung pada konflik bersenjata seperti yang terjadi saat ini.
Potensi Perang Terbuka
Dengan kondisi saat ini, potensi konflik semakin melebar. Baik Thailand maupun Kamboja dilaporkan telah mengerahkan lebih banyak pasukan dan peralatan berat ke daerah perbatasan. Tank, artileri, dan sistem pertahanan udara dikerahkan untuk berjaga-jaga jika terjadi eskalasi lanjutan.
Sementara itu, organisasi regional ASEAN bersama China menyerukan kedua pihak untuk menahan diri dan menyelesaikan sengketa melalui jalur diplomasi. Namun, hingga kini, belum ada tanda-tanda deeskalasi dari kedua belah pihak. Retorika panas dan saling tuduh justru semakin mendominasi pernyataan resmi dari masing-masing pemerintahan.
Krisis Kemanusiaan Mengancam
Selain konflik bersenjata, masyarakat internasional juga mulai mengkhawatirkan potensi krisis kemanusiaan. Ribuan pengungsi kini hidup dalam kondisi darurat. Banyak anak-anak dan lansia yang harus bertahan tanpa fasilitas kesehatan dan pendidikan yang memadai.
Lembaga internasional seperti UNICEF telah menyampaikan keprihatinannya. Mereka mengingatkan bahwa jika konflik tidak segera dihentikan, dampaknya bisa sangat fatal bagi generasi muda di wilayah tersebut.
Apa yang Akan Terjadi Selanjutnya?
Melihat arah perkembangan konflik, analis keamanan kawasan memperingatkan bahwa situasi ini bisa menjadi lebih besar dari yang diperkirakan. Apalagi jika komunitas internasional lambat dalam mengambil tindakan mediasi. Banyak yang berharap agar jalur diplomasi segera dibuka kembali dan kedua negara bersedia melakukan dialog damai, sebelum situasi semakin tidak terkendali.
Untuk sementara waktu, dunia hanya bisa menunggu sambil berharap dua negara ini memilih jalur damai ketimbang perang terbuka. Karena jika tidak, Asia Tenggara bisa menghadapi salah satu krisis militer terbesarnya dalam satu dekade terakhir.