Jasad Penuh Lebam, Polisi Ekshumasi Mahasiswa UNG yang Meninggal Misterius Usai Diksar

Jasad Penuh Lebam, Polisi Ekshumasi Mahasiswa UNG yang Meninggal Misterius Usai Diksar
Sumber :
  • Alodokter

Gadget – Kematian seorang mahasiswa Universitas Negeri Gorontalo (UNG), Mohammad Jeksen (MJ), usai mengikuti pendidikan dasar (diksar) Mapala pada September 2025, kini memasuki babak krusial dalam proses hukum. Penyidik Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Bone Bolango telah melakukan ekshumasi terhadap jenazah korban dan mengumpulkan bukti forensik untuk mengungkap apakah kematian tersebut bersifat wajar atau mengandung unsur kekerasan.

Proses penggalian kembali jenazah berlangsung pada Rabu, 8 Oktober 2025, di Kelurahan Wapunto, Kecamatan Duruka, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara—kampung halaman almarhum. Ekshumasi yang berlangsung selama tiga jam itu berjalan aman dan lancar, diawasi langsung oleh tim forensik serta disaksikan oleh keluarga korban.

Hasilnya? Delapan sampel organ tubuh berhasil diambil dan dikirim ke Laboratorium Forensik (Labfor) Polda Sulawesi Selatan di Makassar untuk dianalisis secara mendalam. Sementara itu, penyidik telah memeriksa 11 saksi dan berencana memanggil 16 saksi tambahan, termasuk rekan-rekan satu diksar MJ.

Kasus ini memicu kecurigaan publik setelah sebelumnya beredar informasi bahwa jenazah korban penuh lebam, namun tidak sempat diotopsi sebelum dimakamkan. Keluarga pun mendesak aparat kepolisian mengusut tuntas dugaan kekerasan dalam kegiatan diksar yang seharusnya bertujuan membangun karakter, bukan merenggut nyawa.

Kronologi Kematian: Dari Diksar Mapala hingga Meninggal di Rumah Sakit

Peristiwa bermula pada Senin, 22 September 2025, ketika MJ mengikuti diksar yang diselenggarakan oleh organisasi mahasiswa pencinta alam di Desa Tapadaa, Kecamatan Suwawa, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo. Tak lama setelah kegiatan berlangsung, MJ mengeluh sakit.

Ia kemudian dilarikan ke Rumah Sakit Aloei Saboe di Kota Gorontalo, namun nyawanya tak tertolong. Pihak rumah sakit menyatakan MJ meninggal dunia tanpa memberikan penjelasan medis rinci yang memuaskan keluarga.

Keluarga korban, yang berasal dari Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, langsung curiga. Mereka melihat bekas memar dan luka di tubuh almarhum—tanda-tanda yang tidak sesuai dengan klaim "sakit biasa". Permintaan otopsi pun diajukan, tetapi jenazah telah dimakamkan terlebih dahulu.

Tekanan dari masyarakat dan keluarga akhirnya mendorong Polres Bone Bolango membuka penyelidikan resmi. Pada tahap awal, kasus ini ditangani sebagai peristiwa kematian tidak wajar, dan kini telah dinaikkan statusnya menjadi penyidikan.

Ekshumasi dan Pengujian Forensik: Upaya Mengungkap Penyebab Kematian Sebenarnya

Ekshumasi—proses menggali kembali jenazah dari makam—bukan langkah yang diambil sembarangan. Dalam hukum Indonesia, prosedur ini hanya dilakukan jika ada indikasi kuat tindak pidana atau keraguan atas penyebab kematian.

Menurut Kapolres Bone Bolango, AKBP Supriantoro, proses ekshumasi dilakukan dengan izin keluarga dan sesuai prosedur hukum. “Alhamdulillah berlangsung aman dan lancar,” ujarnya di Gorontalo, Senin (27/10/2025).

Tim forensik yang hadir langsung mengambil sampel dari organ vital seperti jantung, paru-paru, hati, ginjal, otak, dan jaringan kulit. Sampel-sampel ini akan dianalisis untuk mendeteksi:

  • Adanya racun atau zat kimia berbahaya
  • Tanda trauma internal akibat pemukulan atau kekerasan fisik
  • Kerusakan organ akibat kelelahan ekstrem atau dehidrasi
  • Infeksi atau penyakit yang mungkin disembunyikan

Hasil uji lab di Makassar diperkirakan memakan waktu 2–4 minggu, tergantung kompleksitas analisis. Namun, polisi menegaskan bahwa penyelidikan tetap berjalan paralel dengan pemeriksaan saksi.

Saksi dan Bukti: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kematian MJ?

Hingga kini, penyidik telah memeriksa 11 orang saksi, termasuk panitia diksar, instruktur, dan petugas medis yang sempat menangani MJ. Rencananya, 16 orang tambahan—semua rekan satu angkatan MJ dalam diksar—akan dipanggil untuk memberikan keterangan.

Pertanyaan kunci yang diajukan penyidik meliputi:

  • Apakah ada praktik bullying atau hukuman fisik selama diksar?
  • Bagaimana protokol kesehatan dan keselamatan peserta diterapkan?
  • Apakah MJ sempat mengeluh sakit sebelum kolaps?
  • Apakah ada upaya pertolongan pertama yang memadai?

Organisasi Mapala UNG belum memberikan pernyataan resmi kepada media. Namun, sumber internal menyebut bahwa diksar tahun ini tidak melibatkan kegiatan ekstrem, dan semua peserta telah menandatangani surat pernyataan kesediaan mengikuti risiko.

Namun, bagi keluarga MJ, klaim tersebut tidak cukup. “Anak saya pulang dalam peti, tubuhnya penuh luka. Ini bukan kecelakaan. Ini kejahatan,” kata seorang kerabat korban kepada wartawan.

Reaksi Publik dan Desakan Reformasi Diksar Kampus

Kasus kematian MJ bukan yang pertama di Indonesia. Sejarah mencatat puluhan mahasiswa tewas dalam kegiatan diksar—baik Mapala, UKM militer, maupun organisasi kemahasiswaan lain—akibat kekerasan, kelalaian, atau tekanan psikologis berlebihan.

Publik kini kembali menyerukan moratorium total terhadap sistem diksar tradisional yang kerap menyamar sebagai “pembentukan mental”. Aktivis mahasiswa dan lembaga HAM mendesak perguruan tinggi untuk:

  • Menghapus praktik hukuman fisik dalam pelatihan
  • Mewajibkan pelatih bersertifikasi
  • Menyediakan tim medis selama kegiatan
  • Melibatkan psikolog dalam evaluasi peserta

Rektor UNG, dalam pernyataan singkat, menyatakan dukungan penuh terhadap proses hukum dan berjanji akan mengevaluasi seluruh kegiatan kemahasiswaan pasca insiden ini.

Status Hukum: Ancaman Pasal Apa yang Bisa Dikenakan?

Jika hasil forensik membuktikan adanya unsur kekerasan atau kelalaian yang menyebabkan kematian, para pelaku—baik individu maupun institusi—bisa dijerat dengan sejumlah pasal:

  • Pasal 359 KUHP: Kelalaian yang menyebabkan orang lain mati
  • Pasal 360 KUHP: Kelalaian berat yang mengakibatkan kematian
  • Pasal 351 jo 338 KUHP: Penganiayaan yang berakibat kematian
  • UU No. 35/2014 tentang Perlindungan Anak (jika korban dianggap rentan)

Jika terbukti ada budaya kekerasan sistemik dalam organisasi kampus, pihak universitas juga bisa dimintai pertanggungjawaban secara administratif maupun perdata.

Pesan untuk Keluarga dan Masyarakat: Transparansi Jadi Kunci

Kapolres Supriantoro menegaskan bahwa penyelidikan berjalan transparan dan mendapat dukungan luas. “Kami berkomitmen mengungkap kebenaran, apa pun hasilnya,” tegasnya.

Bagi keluarga MJ, keadilan bukan hanya soal hukuman—tapi juga jaminan bahwa tidak ada lagi korban setelah anak mereka. Mereka berharap kasus ini menjadi titik balik bagi dunia pendidikan tinggi Indonesia dalam memperlakukan mahasiswa dengan martabat dan rasa aman.

Kesimpulan: Dari Tragedi Menuju Perubahan Sistemik

Kematian Mohammad Jeksen bukan sekadar kasus kriminal biasa. Ia adalah cermin dari budaya diksar yang masih mengakar dalam sistem kampus, di mana “disiplin” sering disalahartikan sebagai “kekerasan”, dan “kesetiaan” diuji lewat penderitaan fisik.

Dengan ekshumasi jenazah, pengujian forensik, dan pemeriksaan puluhan saksi, negara kini diuji: apakah akan membiarkan praktik berbahaya ini terus berlangsung, atau mengambil langkah tegas demi melindungi generasi muda?

Jawabannya akan terlihat dalam pekan-pekan mendatang—saat hasil laboratorium keluar, dan keputusan hukum diambil. Sampai saat itu, masyarakat diminta tetap tenang, namun waspada. Karena setiap mahasiswa berhak pulang dari kampus—bukan dalam peti.

 

Dapatkan informasi terbaru seputar Gadget, Anime, Game, Tech dan Berita lainnya setiap hari melalui social media Gadget VIVA. Ikuti kami di :
Instagram@gadgetvivacoid
FacebookGadget VIVA.co.id
X (Twitter)@gadgetvivacoid
Whatsapp ChannelGadget VIVA
Google NewsGadget