Investigasi Media AS Bongkar Kejanggalan Piala Dunia 2026—FIFA Tak Berani Jawab!
- REUTERS/Ibraheem Al Omari
Gadget – Dunia sepak bola internasional kembali diguncang kontroversi. Round 4 Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia—yang seharusnya menjadi ajang kompetisi adil dan transparan—kini diselimuti kecurigaan setelah media ternama Amerika Serikat, The Athletic, mengungkap serangkaian kejanggalan sistematis dalam penyelenggaraannya.
Yang paling mencolok: Arab Saudi dan Qatar, dua negara peserta kualifikasi, justru ditunjuk sebagai tuan rumah pertandingan. Padahal, menurut regulasi FIFA, babak kualifikasi tingkat lanjut seperti Round 4 harus digelar di lokasi netral untuk menjamin keadilan kompetisi.
Namun, alih-alih memberikan klarifikasi, FIFA dan Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) memilih diam saat dihadapkan pada pertanyaan kritis dari jurnalis investigasi The Athletic, Jacob Whitehead. Sikap bungkam ini justru memperkuat spekulasi publik: apakah ada praktik tidak transparan—bahkan potensi kecurangan—di balik layar organisasi sepak bola tertinggi dunia?
Artikel ini mengupas tuntas investigasi tersebut, analisis regulasi FIFA, respons tim nasional yang dirugikan (termasuk Indonesia), serta indikasi bias sistemik yang menguntungkan negara-negara tertentu.
Regulasi FIFA vs Realitas Lapangan: Di Mana Letak Pelanggarannya?
Menurut Pasal 20.3 Regulasi Kualifikasi Piala Dunia FIFA, babak akhir kualifikasi regional—terutama yang melibatkan format grup kecil seperti Round 4 AFC—harus dimainkan di venue netral jika ada potensi konflik kepentingan, seperti ketika salah satu peserta juga menjadi tuan rumah.
Round 4 Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia diikuti oleh 6 tim: Arab Saudi, Qatar, Indonesia, Oman, Uni Emirat Arab (UEA), dan Irak. Mereka bertanding dalam format double round-robin di dua lokasi: Riyadh (Arab Saudi) dan Doha (Qatar).
Artinya, dua dari enam peserta bertindak sebagai “tuan rumah” sekaligus kompetitor—sebuah konflik kepentingan nyata yang melanggar semangat sportivitas.
Padahal, dalam sejarah kualifikasi Piala Dunia, FIFA kerap memindahkan laga ke negara ketiga jika ada indikasi ketidaknetralan. Contohnya, laga kualifikasi antara Israel dan negara Arab biasanya digelar di Eropa atau Asia Tenggara.
Lalu, mengapa kali ini aturan dilanggar tanpa konsekuensi?
Investigasi The Athletic: Enam Pertanyaan yang Tak Dijawab FIFA & AFC
Pada 29 Oktober 2025, The Athletic merilis laporan investigasi eksklusif oleh Jacob Whitehead yang mengungkap ketidakjelasan proses pengambilan keputusan di balik Round 4. Ia mengajukan enam pertanyaan kritis kepada FIFA dan AFC:
- Apakah AFC bisa membagikan kriteria dan skor penilaian bidding tuan rumah secara terbuka?
- Mengapa Arab Saudi dan Qatar diizinkan bermain di kandang, bukan di venue netral?
- Dalam kondisi apa kedua negara itu ditetapkan sebagai unggulan teratas?
- Bagaimana jadwal pertandingan Round 4 ditentukan?
- Mengapa suporter UEA hanya dapat kuota tiket sangat terbatas saat lawan Qatar?
- Bisakah AFC memberikan salinan lengkap regulasi kualifikasi kepada media?
Jawaban dari FIFA dan AFC? Tidak ada.
Keduanya menolak berkomentar, baik melalui email, telepon, maupun permintaan wawancara resmi. Sikap diam ini dianggap oleh banyak pengamat sebagai pengakuan implisit atas ketidakberesan proses.
Indonesia dan Tim Lain Dirugikan: Jadwal, Tiket, hingga Wasit Kontroversial
Kejanggalan tidak berhenti pada pemilihan tuan rumah. Sejumlah keputusan operasional juga terlihat sengaja menguntungkan Arab Saudi dan Qatar.
1. Jadwal Tidak Adil: Recovery Time 6 Hari vs 2 Hari
Arab Saudi dan Qatar mendapat 6 hari istirahat antar pertandingan.
Sementara Indonesia, Oman, Irak, dan UEA hanya diberi 2 hari recovery—kondisi yang sangat merugikan secara fisik dan taktis.
Pelatih Oman, Carlos Queiroz, bahkan secara terbuka mengkritik AFC:
“Ini bukan kompetisi adil. Mereka memanjakan dua negara dengan memberi keuntungan logistik yang tidak dimiliki tim lain.”
2. Diskriminasi Kuota Tiket Suporter
Saat Indonesia vs Arab Saudi di Riyadh, suporter Garuda hanya diberi 4.000 tiket, sementara pendukung tuan rumah mendapat 10.000 tiket.
Di laga UEA vs Qatar, kuota tiket suporter UEA dipangkas drastis, membuat stadion Doha didominasi warna tuan rumah.
3. Penunjukan Wasit yang Mencurigakan
Laga Indonesia vs Arab Saudi dipimpin wasit Kuwait, Ahmad Al-Ali—yang justru bermain adil.
Namun, laga krusial Indonesia vs Irak dipimpin Ma Ning (China), yang membuat tiga keputusan kontroversial, termasuk:
- Menolak meninjau VAR saat Jay Idzes dijatuhkan di kotak penalti pada menit 14.
- Memberi kartu kuning berlebihan kepada pemain Indonesia.
- Mengabaikan pelanggaran kasar pemain Irak di area tengah lapangan.
- Ironisnya, Ma Ning dikenal memiliki riwayat keputusan bias terhadap tim Asia Tenggara, termasuk dalam laga Piala Asia 2023.
Respons Timnas Indonesia dan Negara Lain
Timnas Indonesia, melalui manajer tim dan PSSI, belum mengajukan protes resmi ke FIFA, meski kekecewaan terlihat jelas di ruang ganti. Sementara itu, Oman dan UEA dikabarkan tengah mengkaji langkah hukum kolektif jika tidak ada transparansi.
Presiden Federasi Sepak Bola Jepang (JFA) bahkan menegaskan bahwa Jepang tidak akan ikut dalam “federasi tandingan”, tetapi mendesak AFC untuk memperbaiki tata kelola agar kepercayaan publik tidak runtuh.
Mengapa FIFA dan AFC Takut Bicara?
Ada beberapa spekulasi mengapa FIFA dan AFC memilih diam:
- Tekanan geopolitik: Arab Saudi dan Qatar adalah investor besar dalam sepak bola global (melalui Saudi Pro League, kepemilikan klub Eropa, dan rencana Piala Dunia 2034).
- Kepentingan komersial: Kedua negara menawarkan infrastruktur mewah, keamanan ketat, dan pendanaan penuh—sesuatu yang sulit ditolak di tengah krisis finansial federasi.
- Ketakutan akan investigasi lebih dalam: Jika membuka dokumen bidding, bisa terbongkar praktik backroom deal yang melibatkan elite sepak bola Asia.
Namun, dengan diam, FIFA justru merusak kredibilitasnya sendiri sebagai penjaga integritas olahraga dunia.
Apa yang Harus Dilakukan Sekarang?
Untuk memulihkan kepercayaan, FIFA dan AFC harus:
- Membuka dokumen lengkap proses pemilihan tuan rumah Round 4.
- Merevisi regulasi agar larangan tuan rumah peserta ditegakkan tanpa pengecualian.
- Membentuk komite independen untuk meninjau ulang keputusan wasit dan distribusi tiket.
- Memberikan kompensasi logistik adil untuk tim yang dirugikan di babak berikutnya.
Tanpa langkah konkret, Piala Dunia 2026 berisiko kehilangan legitimasi moralnya—bukan karena kualitas permainan, tapi karena proses yang tidak adil sejak babak kualifikasi.
Kesimpulan: Ketika Sepak Bola Dikendalikan oleh Kepentingan, Bukan Sportivitas
Round 4 Kualifikasi Piala Dunia 2026 seharusnya menjadi panggung bagi talenta Asia untuk bersaing demi mimpi dunia. Namun, kenyataannya, arena ini justru menjadi cermin ketimpangan kekuasaan, di mana negara kaya dengan pengaruh politik bisa “membeli” keuntungan kompetitif.
FIFA dan AFC punya pilihan: bertahan dalam diam dan kehilangan kepercayaan publik, atau berani transparan dan memperbaiki kesalahan.
Bagi Timnas Indonesia dan negara-negara kecil lainnya, keadilan bukanlah kemewahan—itu adalah hak dasar dalam olahraga.
Dan jika hak itu terus diabaikan, maka Piala Dunia bukan lagi festival sepak bola dunia—melainkan pesta eksklusif bagi yang punya uang dan kekuasaan.
| Dapatkan informasi terbaru seputar Gadget, Anime, Game, Tech dan Berita lainnya setiap hari melalui social media Gadget VIVA. Ikuti kami di : | |
|---|---|
| @gadgetvivacoid | |
| Gadget VIVA.co.id | |
| X (Twitter) | @gadgetvivacoid |
| Whatsapp Channel | Gadget VIVA |
| Google News | Gadget |