Bahlil Tegaskan BBM Campur Etanol Sudah Umum di Dunia: Brasil Bahkan Pakai 100 Persen!
- viva
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa pencampuran etanol dalam bahan bakar minyak (BBM) bukan hal baru di dunia. Ia menyebut, sejumlah negara telah menerapkan kebijakan tersebut sebagai langkah strategis menuju energi yang lebih bersih dan ramah lingkungan. Salah satu contoh paling sukses adalah Brasil, yang bahkan mampu memproduksi dan menggunakan etanol hingga 100 persen sebagai bahan bakar kendaraan.
Dalam pernyataannya di JCC Senayan, Kamis (9/10/2025), Bahlil menjelaskan bahwa pencampuran etanol dengan BBM merupakan cara efektif untuk menekan emisi gas buang dari kendaraan bermotor. Semakin tinggi kadar etanol dalam campuran, semakin rendah pula emisi karbon yang dihasilkan. Dengan demikian, penggunaan etanol dinilai sebagai solusi nyata untuk mengurangi dampak lingkungan dari sektor transportasi.
“Sekarang ramai di media sosial soal E27, E30, sampai E85. Itu semua adalah bensin yang di-blending dengan etanol. Di Brasil, ada mandatori pencampuran sebesar 27 persen, dan di beberapa wilayah yang memiliki produksi etanol tinggi, kadar campurannya bahkan mencapai E100 alias 100 persen,” ungkap Bahlil.
Ia menambahkan, Brasil bukan satu-satunya negara yang telah sukses memanfaatkan etanol sebagai bahan bakar alternatif. Amerika Serikat, misalnya, sudah lama mencampurkan etanol ke dalam bensin dengan kadar bervariasi, mulai dari 10 persen hingga 85 persen tergantung kebijakan di masing-masing negara bagian. India pun tak mau ketinggalan dengan menerapkan E20 atau pencampuran etanol sebanyak 20 persen.
Sementara itu, Thailand mengadopsi kebijakan lebih fleksibel, menggunakan bioetanol dalam kisaran E20 sampai E85. Argentina juga turut ambil bagian dengan mencampurkan etanol sebesar 12 persen dalam bahan bakarnya. Negara-negara Eropa seperti Jerman dan Prancis, serta negara Asia seperti Vietnam, Filipina, dan China, juga sudah lama menerapkan kadar etanol sebesar 10 persen dalam BBM mereka.
Bahlil menegaskan bahwa kebijakan tersebut memiliki dua tujuan utama. Pertama, untuk memanfaatkan potensi sumber daya alam dalam negeri agar tidak bergantung pada impor bahan bakar. Kedua, untuk menciptakan energi yang lebih bersih sekaligus mendukung komitmen global dalam menekan emisi karbon. “Kebijakan ini bukan hanya soal teknologi, tapi juga strategi ekonomi dan lingkungan. Negara-negara yang punya produksi etanol besar akan lebih mandiri dalam hal energi,” jelasnya.
Lebih jauh, Bahlil juga mengungkapkan bahwa pemerintah berencana memberlakukan mandatori penggunaan BBM dengan campuran etanol 10 persen atau E10 di Indonesia. Langkah ini diharapkan bisa mengurangi ketergantungan terhadap impor BBM yang selama ini membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). “Kita ingin menekan impor dan meningkatkan penggunaan energi hijau. Ini momentum untuk mendorong kemandirian energi nasional,” ujarnya.
Namun, di tengah wacana ini, muncul sejumlah keraguan dari masyarakat terkait dampak penggunaan etanol terhadap performa mesin kendaraan. Menanggapi hal tersebut, Bahlil menegaskan bahwa kekhawatiran tersebut tidak beralasan. Ia mencontohkan banyak negara yang telah menggunakan etanol dalam jangka panjang tanpa mengalami kendala berarti pada mesin kendaraan mereka. “Sangat tidak benar kalau dibilang etanol itu tidak bagus. Buktinya, negara-negara maju seperti AS dan Brasil sudah pakai dan baik-baik saja. Yang bilang tidak bagus mungkin karena punya kepentingan lain, terutama yang diuntungkan dari impor BBM,” katanya dengan nada tegas.
Bahlil juga mengingatkan bahwa produk BBM impor yang digunakan di Indonesia sebenarnya sudah mengandung etanol dalam kadar tertentu. “Padahal di Amerika, produk BBM seperti Shell pun sudah menggunakan etanol. Jadi tidak ada alasan teknis yang membuat Indonesia tidak bisa melakukan hal yang sama,” tambahnya.
Ia menegaskan, kebijakan penggunaan etanol ini bukan hanya sekadar wacana, melainkan bagian dari strategi besar pemerintah dalam mencapai target bauran energi nasional. Dengan memanfaatkan etanol yang bisa diproduksi dari sumber daya seperti tebu, singkong, dan jagung, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi produsen bioetanol terkemuka di kawasan Asia Tenggara.
Selain manfaat lingkungan, penggunaan etanol juga berpotensi menciptakan nilai tambah ekonomi bagi sektor pertanian dan industri lokal. Produksi etanol membutuhkan bahan baku dari hasil pertanian, sehingga akan membuka peluang baru bagi petani serta mendorong tumbuhnya industri pengolahan bioetanol di dalam negeri. “Kita punya potensi besar di sektor ini. Kalau semua pihak bergerak bersama, Indonesia bisa menghemat devisa dari impor BBM sekaligus menciptakan lapangan kerja baru,” ujar Bahlil.
Sejalan dengan upaya tersebut, pemerintah akan terus memperkuat kolaborasi lintas kementerian dan sektor swasta untuk mempercepat implementasi program etanol nasional. Mulai dari penyediaan infrastruktur distribusi, standarisasi kualitas bahan bakar, hingga edukasi publik mengenai manfaat dan keamanan etanol sebagai energi alternatif.
Dengan langkah ini, Indonesia diharapkan bisa mengikuti jejak negara-negara yang telah berhasil mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Lebih dari itu, pencampuran etanol juga menjadi simbol transformasi menuju masa depan energi yang lebih berkelanjutan.
Sebagaimana diungkapkan Bahlil, “Kalau Brasil bisa pakai E100, kenapa kita tidak bisa mulai dari E10? Semua ini demi masa depan energi Indonesia yang lebih mandiri, efisien, dan bersih.”
Langkah tersebut menunjukkan bahwa Indonesia mulai serius bergerak menuju era energi hijau, di mana keberlanjutan lingkungan menjadi prioritas utama tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi nasional.