Rehabilitasi Ira Puspadewi Tuai Kontroversi, Benarkah Langgar Prosedur Hukum?
- tvonenews
Gadget – Presiden RI Prabowo Subianto kembali menggunakan hak prerogatifnya kali ini dengan menerbitkan surat rehabilitasi bagi Ira Puspadewi, mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry, serta dua mantan pejabat perusahaan pelat merah lainnya: Muhammad Yusuf Hadi dan Harry Muhammad Adhi Tjaksono. Keputusan yang ditandatangani pada Selasa, 25 November 2025, dan diumumkan oleh Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad, langsung memicu perdebatan luas di kalangan hukum, akademisi, dan publik.
Pasalnya, rehabilitasi ini diberikan sebelum proses hukum perkara berakhir di tingkat kasasi, menimbulkan pertanyaan: Apakah langkah ini sesuai prosedur hukum? Atau justru mencerminkan intervensi eksekutif terhadap independensi peradilan?
Untuk menjawab kebingungan publik, dua pakar hukum ternama Guru Besar Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana dan Pakar Hukum Pidana Universitas Parahyangan Agustinus Pohan menjelaskan perbedaan mendasar antara rehabilitasi, abolisi, dan amnesti, serta implikasi hukum dari keputusan Presiden Prabowo.
Latar Belakang Perkara: Bisnis atau Korupsi?
Ketiga mantan pejabat ASDP tersebut sebelumnya dijerat dalam Perkara Nomor: 68/PISUS/DPK/2025, terkait keputusan bisnis akuisisi PT Jembatan Nusantara antara 2019–2022. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menilai langkah tersebut menyebabkan kerugian negara, sehingga dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
Namun, banyak pengamat kebijakan dan ahli bisnis berargumen bahwa keputusan investasi semacam itu seharusnya dipandang sebagai risiko bisnis, bukan delik pidana. Mereka menilai bahwa mengkriminalisasi keputusan korporat BUMN berpotensi membekukan inisiatif manajemen dan menciptakan iklim takut dalam dunia usaha.
Desakan publik atas keadilan bagi ketiganya kemudian dikaji oleh Komisi Hukum DPR, yang lalu menyampaikan rekomendasi kepada Presiden. Hasilnya: rehabilitasi resmi diberikan, meski proses hukum belum tuntas sepenuhnya di Mahkamah Agung.
Penjelasan Ahli: Apa Bedanya Rehabilitasi, Abolisi, dan Amnesti?
1. Rehabilitasi: Memulihkan Nama Baik, Bukan Menghapus Hukuman
Hikmahanto Juwana menjelaskan bahwa rehabilitasi bukan penghapusan pidana, melainkan pemulihan harkat, martabat, dan nama baik seseorang yang dianggap salah dihukum.
“Rehabilitasi itu pemulihan nama baik. Karena dianggap: oh, sebenarnya bukan dia yang melakukannya, atau pasal yang dikenakan tidak tepat,” ujarnya.
Agustinus Pohan menambahkan dari perspektif hukum pidana:
“Rehabilitasi artinya mengembalikan harkat dan martabat pada kedudukan semula. Kesalahan yang ditetapkan dalam putusan dianulir.”
Artinya, negara secara formal mengakui adanya kekeliruan dalam penetapan tersangka atau penerapan hukum. Akibatnya, hak-hak sipil, pekerjaan, hingga reputasi sosial para penerima rehabilitasi dikembalikan.
Namun, Hikmahanto menekankan bahwa idealnya rehabilitasi diberikan setelah putusan tetap di Mahkamah Agung, bukan di tengah proses hukum. Memberikannya lebih awal berisiko menciptakan kesan bahwa Presiden memengaruhi jalannya peradilan.
2. Abolisi: Menghentikan Proses Hukum Secara Langsung
Berbeda dengan rehabilitasi, abolisi adalah pengampunan yang menghentikan proses hukum, baik di tahap penyidikan, penuntutan, maupun pengadilan.
“Abolisi itu kayak pengampunan. Presiden bisa menghapus proses hukum atau pidana, sehingga tidak dilanjutkan,” jelas Hikmahanto.
Contoh nyata: Thomas Trikasih Lembong, mantan Menteri Perdagangan, menerima abolisi dari Presiden Prabowo, sehingga proses hukum terhadapnya dihentikan total.
3. Amnesti: Pengampunan Massal, Biasanya untuk Kasus Politik
Amnesti diberikan oleh Presiden kepada satu orang atau kelompok yang terlibat dalam tindak pidana tertentu umumnya bermotif politik, sosial, atau kemanusiaan. Amnesti tidak hanya menghapus hukuman, tetapi juga menghapus status pidana itu sendiri, seolah-olah peristiwa itu tidak pernah terjadi.
Presiden Prabowo sebelumnya memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto, Sekjen PDI Perjuangan, atas pertimbangan bahwa penuntutan terhadapnya tidak proporsional.
Kontroversi: Apakah Rehabilitasi Dini Melanggar Asas Hukum?
Meski secara konstitusional Presiden memiliki hak prerogatif untuk memberikan ketiga bentuk pengampunan tersebut (Pasal 14 UUD 1945), praktik penerapannya tetap harus mempertimbangkan asas keadilan, kepastian hukum, dan independensi peradilan.
Kritik utama terhadap rehabilitasi Ira Puspadewi dan koleganya adalah:
- Proses hukum belum final (belum ada putusan MA)
- Putusan pengadilan tingkat pertama belum dikoreksi melalui banding/kasasi
- Berpotensi melemahkan otoritas lembaga peradilan
Hikmahanto Juwana secara eksplisit menyatakan kekhawatirannya:
“Kalau langsung dari Pengadilan Negeri dikasih rehabilitasi, itu berbahaya. Seolah-olah Presiden mengintervensi proses hukum yang sedang berjalan.”
Di sisi lain, pendukung keputusan ini berargumen bahwa jika jelas terjadi kriminalisasi kebijakan bisnis, maka intervensi Presiden justru merupakan bentuk koreksi keadilan.
Dampak Luas: Pesan kepada BUMN dan Dunia Usaha
Keputusan ini dikirimkan sebagai sinyal kuat kepada seluruh manajemen BUMN dan pelaku usaha:
“Tidak semua kegagalan investasi adalah korupsi.”
Dengan rehabilitasi ini, pemerintah secara tidak langsung mengakui bahwa risiko bisnis harus dibedakan dari niat jahat atau penyalahgunaan wewenang. Ini bisa mendorong lebih banyak inisiatif strategis dari BUMN tanpa takut dikriminalisasi.
Namun, hal ini juga menimbulkan tantangan: bagaimana memastikan bahwa rehabilitasi tidak menjadi ‘jalan pintas’ bagi pejabat yang benar-benar korup? Karena itu, transparansi dalam proses pertimbangan keputusan Presiden menjadi krusial.
Kesimpulan: Antara Hak Prerogatif dan Tanggung Jawab Konstitusional
Rehabilitasi yang diberikan Presiden Prabowo kepada Ira Puspadewi dan dua mantan pejabat ASDP memang sah secara hukum. Namun, waktunya yang dini sebelum proses hukum selesai membuka ruang untuk spekulasi dan kekhawatiran akan politisasi hukum.
Sebagaimana diingatkan oleh para ahli, hak prerogatif bukanlah hak absolut. Ia harus digunakan dengan hati-hati, proporsional, dan berdasarkan pertimbangan hukum yang matang, bukan tekanan politik atau popularitas sesaat.
Di tengah upaya membangun negara hukum yang kuat, langkah seperti ini harus diimbangi dengan mekanisme akuntabilitas dan transparansi agar keadilan tidak hanya ditegakkan, tetapi juga terlihat ditegakkan oleh seluruh rakyat Indonesia.
| Dapatkan informasi terbaru seputar Gadget, Anime, Game, Tech dan Berita lainnya setiap hari melalui social media Gadget VIVA. Ikuti kami di : | |
|---|---|
| @gadgetvivacoid | |
| Gadget VIVA.co.id | |
| X (Twitter) | @gadgetvivacoid |
| Whatsapp Channel | Gadget VIVA |
| Google News | Gadget |