Diserang Tuduhan Teroris dan Diancam Trump, Cawalkot Muslim Zohran Mamdani Justru Unggul Telak di New York!

Cawalkot Muslim Zohran Mamdani Justru Unggul Telak di New York
Sumber :
  • lifehack

Calon Wali Kota New York, Zohran Mamdani, tengah menjadi sorotan publik menjelang pemilihan pada 4 November mendatang. Meski diterpa berbagai tuduhan rasisme, terorisme, dan Islamofobia, politisi muda keturunan Uganda-India itu justru semakin unggul dalam berbagai survei. Gelombang serangan yang seharusnya menjatuhkannya justru berbalik menjadi simpati luas dari warga New York, terutama di kalangan pemilih muda dan komunitas minoritas.

Dalam hasil survei terbaru yang dilakukan AARP bersama Gotham Polling and Analytics, Mamdani memperoleh dukungan hingga 43,2 persen. Angka itu membuatnya unggul cukup jauh dari dua pesaing terdekat, yakni mantan Gubernur New York, Andrew Cuomo, yang meraih 28,9 persen suara, serta kandidat Partai Republik, Curtis Sliwa, dengan 19,4 persen. Sementara itu, sekitar 8,4 persen pemilih masih belum menentukan pilihan. Hasil ini menunjukkan bahwa di tengah badai tuduhan dan kampanye negatif, kepercayaan publik terhadap Mamdani justru semakin menguat.

Zohran Mamdani, yang dikenal sebagai anggota Dewan Negara Bagian New York dari Partai Demokrat dan sosok progresif dalam politik lokal, menjadi simbol harapan baru bagi banyak warga kota. Latar belakangnya sebagai anak imigran Muslim dari Uganda dan India memperkuat citranya sebagai representasi keberagaman New York, kota yang terkenal sebagai rumah bagi berbagai budaya dan keyakinan.

Namun, menjelang hari pemungutan suara, serangan terhadapnya semakin intens. Lawan-lawan politik Mamdani tampak memanfaatkan sentimen Islamofobia untuk menjatuhkan elektabilitasnya. Dalam sebuah siaran radio, Andrew Cuomo bahkan tertawa ketika pembawa acara menyebut Mamdani akan bersorak jika tragedi 11 September terulang kembali. Pernyataan bernada sindiran itu segera memicu gelombang kecaman, terutama dari kelompok advokasi Muslim seperti Council on American-Islamic Relations (CAIR) Action.

“Dengan menyetujui pembawa acara radio rasis, Cuomo telah melewati batas moral. Ini bukan sekadar politik, tapi bentuk ujaran kebencian yang berbahaya,” tegas Basim Elkarra, direktur eksekutif CAIR Action, dalam pernyataannya. Ia menilai bahwa tindakan Cuomo dan sebagian lawan politik Mamdani mencerminkan meningkatnya politik kebencian di Amerika Serikat yang seharusnya sudah lama ditinggalkan.

Tidak hanya Cuomo, kandidat Partai Republik Curtis Sliwa juga melontarkan tudingan serupa. Dalam salah satu iklan kampanyenya, Sliwa bahkan menggambarkan Mamdani sebagai pendukung jihad global dan menyebutnya sebagai “ancaman bagi keamanan kota”. Iklan tersebut menuai kritik tajam dari berbagai pihak karena dianggap tidak hanya mencoreng etika politik, tetapi juga menyalakan kembali api Islamofobia di tengah masyarakat.

Situasi semakin memanas ketika mantan Presiden Donald Trump turut angkat bicara. Dalam sebuah wawancara, Trump mengancam akan menghentikan bantuan dana federal untuk New York jika Mamdani terpilih sebagai wali kota. Ia juga menyinggung kemungkinan untuk “menangkap dan mendeportasi” kandidat Muslim itu, sebuah pernyataan yang segera dikecam luas karena dianggap melanggar prinsip demokrasi dan kebebasan beragama.

Meski serangan demi serangan datang bertubi-tubi, Mamdani menunjukkan ketenangan luar biasa. Ia menolak untuk terjebak dalam permainan politik identitas dan memilih fokus pada isu-isu yang menyentuh kehidupan nyata warga. Dalam sebuah pidato emosional di luar masjid di Bronx pada Jumat, 24 Oktober 2025, Mamdani menegaskan bahwa fitnah dan kebencian tidak akan menggoyahkan langkahnya.

“Menjadi Muslim di New York berarti sering menghadapi penghinaan, tetapi penghinaan tidak membuat kami lemah. Justru keteguhan menghadapi penghinaan itulah yang membuat kami kuat,” ucapnya di hadapan para pendukung yang memadati halaman masjid.

Mamdani kemudian menekankan bahwa visinya bukan sekadar tentang politik identitas, melainkan soal perubahan nyata bagi kehidupan masyarakat New York. Ia menyoroti masalah ketimpangan sosial, meningkatnya harga sewa rumah, dan sulitnya akses terhadap layanan publik yang layak. Menurutnya, warga kota tidak butuh politik kebencian, tetapi kepemimpinan yang menghadirkan solusi.

“Kami berbicara tentang perumahan yang terjangkau, tentang upah yang layak, tentang layanan kesehatan dan pendidikan untuk semua. Inilah isu yang benar-benar penting, bukan asal-usul atau agama seseorang,” tegas Mamdani.

Sikap tenang dan pesan-pesan penuh empati dari Mamdani dinilai menjadi salah satu alasan mengapa dukungan terhadapnya semakin meluas. Banyak pengamat menilai bahwa upayanya melawan kebencian dengan narasi persatuan berhasil menciptakan kontras yang kuat dibandingkan gaya kampanye lawan-lawannya.

Profesor Ilmu Politik dari Columbia University, Dr. Laila Khan, menilai bahwa Mamdani berhasil memanfaatkan momentum untuk membalikkan serangan menjadi kekuatan moral. “Masyarakat New York dikenal sangat beragam dan inklusif. Ketika seorang kandidat diserang karena identitasnya, banyak warga justru akan melihatnya sebagai simbol perlawanan terhadap diskriminasi. Itulah yang terjadi pada Mamdani,” jelasnya.

Di media sosial, tagar #StandWithMamdani sempat menjadi trending di Amerika Serikat. Ribuan pengguna, termasuk sejumlah tokoh politik dan selebritas, menyuarakan dukungan mereka terhadap sang kandidat. Dukungan itu tidak hanya datang dari komunitas Muslim, tetapi juga dari kelompok progresif lintas agama dan ras yang menilai serangan terhadap Mamdani sudah melampaui batas etika demokrasi.

Menjelang hari pemungutan suara, kampanye Mamdani semakin masif. Relawan muda, organisasi komunitas, dan aktivis hak sipil turun langsung ke jalan, membagikan selebaran dan mengajak warga untuk datang ke tempat pemungutan suara. Mereka meyakini kemenangan Mamdani bukan hanya tentang politik, tetapi juga tentang melawan narasi kebencian yang masih menghantui panggung politik Amerika.

Kini, dengan elektabilitas yang terus meningkat dan dukungan publik yang kian meluas, Zohran Mamdani berdiri di ambang sejarah baru. Jika terpilih, ia akan menjadi wali kota Muslim pertama dalam sejarah New York — sebuah pencapaian besar yang mencerminkan semangat keberagaman dan toleransi di jantung Amerika.

Dalam suasana politik yang penuh ketegangan, kisah Mamdani menjadi bukti bahwa nilai-nilai kemanusiaan dan keberanian untuk menghadapi kebencian masih memiliki tempat di hati masyarakat. Ia bukan hanya berjuang untuk kursi wali kota, tetapi juga untuk menegakkan martabat, keadilan, dan persatuan di kota yang tak pernah tidur itu.