Gencatan Senjata Diabaikan! Israel Serang Lebanon, 3 Orang Tewas dalam 24 Jam

Gencatan Senjata Diabaikan! Israel Serang Lebanon, 3 Orang Tewas dalam 24 Jam
Sumber :
  • Ariel Schalit/AP Photo

Gadget – Ketegangan di perbatasan selatan Lebanon kembali memanas setelah Israel melancarkan serangkaian serangan udara pada Minggu (26/10/2025) yang menewaskan tiga orang, termasuk dua warga negara Suriah. Serangan ini terjadi meskipun gencatan senjata antara Israel dan kelompok Hizbullah telah berlangsung hampir satu tahun, memicu kekhawatiran akan eskalasi konflik yang lebih luas di kawasan Timur Tengah.

Kementerian Kesehatan Lebanon mengonfirmasi kematian tiga warga akibat serangan Israel yang tersebar di tiga lokasi berbeda: Naqoura di Provinsi Tyre, Nabi Sheet di wilayah Baalbek timur, serta kota al-Hafir yang juga berada di kawasan Baalbek. Serangan ini bukan hanya melanggar norma kemanusiaan, tetapi juga menguji ketahanan fragile dari kesepakatan tidak tertulis yang selama ini mencegah perang skala penuh.

Rincian Serangan: Lokasi, Korban, dan Klaim Israel

Menurut laporan dari Agence France-Presse (AFP) yang mengutip sumber medis dan keamanan Lebanon, serangan Israel dimulai dengan pemusnahan sebuah mobil di Naqoura, sebuah kota kecil di dekat perbatasan dengan Israel. Satu orang tewas dalam insiden tersebut.

Tak lama berselang, serangan kedua menghantam kendaraan di Nabi Sheet, wilayah pegunungan di timur Lebanon yang dikenal sebagai basis pendukung Hizbullah. Satu korban jiwa juga dilaporkan di lokasi ini.

Serangan ketiga terjadi di kota al-Hafir, juga di wilayah Baalbek. Di sini, seorang warga negara Suriah tewas, sementara satu warga Suriah lainnya mengalami luka serius. Banyak warga Suriah tinggal di Lebanon sebagai pengungsi akibat perang saudara di negara asal mereka, dan sering kali menjadi korban tidak langsung dalam konflik regional.

Israel Klaim Targetkan Jaringan Senjata Hizbullah

Dalam pernyataan resmi pada hari Minggu, Tentara Pertahanan Israel (IDF) menyatakan bahwa operasi tersebut menargetkan dua individu yang diklaim sebagai bagian dari jaringan logistik Hizbullah yang didukung Iran.

Pertama, Ali Hussein al-Mousawi, yang digambarkan oleh militer Israel sebagai “pedagang dan penyelundup senjata” untuk Hizbullah, dilaporkan tewas dalam serangan di Lebanon timur. Kedua, Abd Mahmoud al-Sayed, seorang “perwakilan lokal Hizbullah” di Lebanon selatan, juga diklaim telah dilikuidasi.

“Kami tidak akan mentolerir aktivitas militer Hizbullah di dekat perbatasan kami,” tegas juru bicara IDF, meski tidak memberikan bukti publik atas keterlibatan kedua korban dalam kegiatan bersenjata.

Namun, otoritas Lebanon dan organisasi HAM internasional kerap mempertanyakan akurasi intelijen Israel, terutama ketika korban termasuk warga sipil atau pengungsi.

Gencatan Senjata yang Rapuh: Latar Belakang Konflik Israel–Lebanon

Sejak November 2024, gencatan senjata informal—difasilitasi oleh Amerika Serikat dan Prancis—telah menahan kedua pihak dari pertempuran skala besar. Kesepakatan ini muncul setelah gelombang serangan silang antara Israel dan Hizbullah pasca-perang Gaza 2023–2024, yang menewaskan ratusan warga sipil di kedua sisi perbatasan.

Namun, gencatan senjata ini tidak pernah ditandatangani secara resmi, melainkan berupa pemahaman diam-diam bahwa kedua pihak akan menghindari serangan langsung kecuali dalam “keadaan luar biasa”. Fakta ini membuat situasi tetap rentan terhadap provokasi, kesalahan intelijen, atau keputusan sepihak.

Dalam beberapa pekan terakhir, Israel justru meningkatkan frekuensi serangannya, dengan alasan menggagalkan upaya Hizbullah memperkuat jaringan senjata di selatan Lebanon. Namun, para analis memperingatkan bahwa tindakan semacam ini justru bisa memicu balasan besar-besaran dari Hizbullah, yang memiliki puluhan ribu roket jarak pendek dan menengah yang siap diluncurkan ke wilayah Israel utara.

Reaksi Internasional dan Ancaman Eskalasi Lebih Luas

Hingga Senin pagi (27/10), Dewan Keamanan PBB belum mengeluarkan pernyataan resmi, meski utusan khusus PBB untuk Lebanon, Jeanine Hennis-Plasschaert, menyatakan “keprihatinan mendalam” atas pelanggaran terhadap stabilitas perbatasan.

Amerika Serikat, sekutu utama Israel, menyerukan “pengekangan maksimal”, sementara Iran—pendukung utama Hizbullah—mengecam serangan Israel sebagai “agresi ilegal terhadap kedaulatan Lebanon”.

Sementara itu, pemerintah Lebanon menuntut sidang darurat Dewan Keamanan PBB dan menegaskan bahwa serangan Israel melanggar Resolusi 1701 tahun 2006, yang mengakhiri perang Israel–Hizbullah dan melarang kehadiran militer asing di selatan Lebanon.

Dampak Kemanusiaan: Warga Sipil Jadi Korban Utama

Yang paling mengkhawatirkan adalah nasib warga sipil, terutama di daerah perbatasan yang telah mengalami pengungsian massal sejak 2023. Ribuan keluarga Lebanon dan pengungsi Suriah terpaksa hidup dalam ketidakpastian, dengan akses terbatas ke layanan kesehatan, pendidikan, dan air bersih.

Organisasi kemanusiaan seperti Palang Merah Internasional dan UNHCR melaporkan peningkatan permintaan bantuan darurat di wilayah Tyre dan Baalbek. “Setiap serangan baru memperdalam trauma dan memperburuk krisis kemanusiaan yang sudah kronis,” kata seorang koordinator UNHCR di Beirut.

Apa yang Akan Terjadi Selanjutnya?

Analis keamanan regional memperingatkan bahwa satu insiden bisa menjadi percikan yang memicu kebakaran besar. Hizbullah, yang dipimpin oleh Hassan Nasrallah, belum memberikan pernyataan resmi atas serangan terbaru ini—namun diamnya sering kali diartikan sebagai tanda persiapan balasan.

Di sisi lain, pemerintahan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berada di bawah tekanan domestik untuk menunjukkan kekuatan, terutama menjelang pemilu lokal dan ketidakstabilan koalisi pemerintah.

Jika tidak ada intervensi diplomatik segera, risiko perang terbuka antara Israel dan Lebanon—dengan Hizbullah sebagai aktor utama—semakin nyata. Dan dalam skenario terburuk, konflik ini bisa menyeret Iran, Suriah, dan kekuatan Barat ke dalam pusaran kekerasan yang lebih luas.

Kesimpulan: Perdamaian Rapuh di Tengah Bayang-Bayang Perang

Serangan Israel pada 26 Oktober 2025 bukan sekadar operasi militer biasa—ia adalah ujian terhadap komitmen perdamaian di kawasan yang telah lama dilanda konflik. Meski gencatan senjata masih berlaku secara teknis, tindakan sepihak dan pembunuhan selektif terus mengikis fondasi stabilitas.

Bagi warga Lebanon dan pengungsi Suriah, setiap dentuman roket atau ledakan drone bukan hanya ancaman fisik, tapi juga pengingat bahwa perdamaian di perbatasan Israel–Lebanon masih sangat rapuh—dan bisa runtuh kapan saja.

Masyarakat internasional kini dihadapkan pada pilihan kritis: apakah akan membiarkan siklus kekerasan berulang, atau mengambil langkah tegas untuk menegakkan gencatan senjata yang sejati, inklusif, dan berkelanjutan?

 

Dapatkan informasi terbaru seputar Gadget, Anime, Game, Tech dan Berita lainnya setiap hari melalui social media Gadget VIVA. Ikuti kami di :
Instagram@gadgetvivacoid
FacebookGadget VIVA.co.id
X (Twitter)@gadgetvivacoid
Whatsapp ChannelGadget VIVA
Google NewsGadget