Jasad Penuh Lebam, Polisi Ekshumasi Mahasiswa UNG yang Meninggal Misterius Usai Diksar
- Alodokter
Publik kini kembali menyerukan moratorium total terhadap sistem diksar tradisional yang kerap menyamar sebagai “pembentukan mental”. Aktivis mahasiswa dan lembaga HAM mendesak perguruan tinggi untuk:
- Menghapus praktik hukuman fisik dalam pelatihan
- Mewajibkan pelatih bersertifikasi
- Menyediakan tim medis selama kegiatan
- Melibatkan psikolog dalam evaluasi peserta
Rektor UNG, dalam pernyataan singkat, menyatakan dukungan penuh terhadap proses hukum dan berjanji akan mengevaluasi seluruh kegiatan kemahasiswaan pasca insiden ini.
Status Hukum: Ancaman Pasal Apa yang Bisa Dikenakan?
Jika hasil forensik membuktikan adanya unsur kekerasan atau kelalaian yang menyebabkan kematian, para pelaku—baik individu maupun institusi—bisa dijerat dengan sejumlah pasal:
- Pasal 359 KUHP: Kelalaian yang menyebabkan orang lain mati
- Pasal 360 KUHP: Kelalaian berat yang mengakibatkan kematian
- Pasal 351 jo 338 KUHP: Penganiayaan yang berakibat kematian
- UU No. 35/2014 tentang Perlindungan Anak (jika korban dianggap rentan)
Jika terbukti ada budaya kekerasan sistemik dalam organisasi kampus, pihak universitas juga bisa dimintai pertanggungjawaban secara administratif maupun perdata.
Pesan untuk Keluarga dan Masyarakat: Transparansi Jadi Kunci
Kapolres Supriantoro menegaskan bahwa penyelidikan berjalan transparan dan mendapat dukungan luas. “Kami berkomitmen mengungkap kebenaran, apa pun hasilnya,” tegasnya.
Bagi keluarga MJ, keadilan bukan hanya soal hukuman—tapi juga jaminan bahwa tidak ada lagi korban setelah anak mereka. Mereka berharap kasus ini menjadi titik balik bagi dunia pendidikan tinggi Indonesia dalam memperlakukan mahasiswa dengan martabat dan rasa aman.
Kesimpulan: Dari Tragedi Menuju Perubahan Sistemik
Kematian Mohammad Jeksen bukan sekadar kasus kriminal biasa. Ia adalah cermin dari budaya diksar yang masih mengakar dalam sistem kampus, di mana “disiplin” sering disalahartikan sebagai “kekerasan”, dan “kesetiaan” diuji lewat penderitaan fisik.
Dengan ekshumasi jenazah, pengujian forensik, dan pemeriksaan puluhan saksi, negara kini diuji: apakah akan membiarkan praktik berbahaya ini terus berlangsung, atau mengambil langkah tegas demi melindungi generasi muda?
Jawabannya akan terlihat dalam pekan-pekan mendatang—saat hasil laboratorium keluar, dan keputusan hukum diambil. Sampai saat itu, masyarakat diminta tetap tenang, namun waspada. Karena setiap mahasiswa berhak pulang dari kampus—bukan dalam peti.