Pasukan Israel Kembali Serang Gaza, 104 Warga Tewas dalam Sehari
- lifehack
Militer Israel kembali menggempur Jalur Gaza hanya sehari setelah mengumumkan kembalinya kesepakatan gencatan senjata. Serangan brutal yang terjadi pada Rabu malam (29/10/2025) ini kembali menelan korban jiwa, memperpanjang penderitaan warga Palestina yang belum sempat pulih dari serangan sebelumnya.
Serangan Baru Usai Janji Gencatan Senjata
Ironisnya, gempuran tersebut dilakukan hanya beberapa jam setelah pasukan Zionis menyatakan komitmennya untuk kembali mematuhi gencatan senjata yang berlaku sejak 10 Oktober lalu. Namun kenyataannya, serangan udara tetap dilancarkan ke sejumlah wilayah di Gaza, termasuk Beit Lahiya di bagian utara.
Menurut laporan Rumah Sakit Al Shifa, dua warga sipil tewas akibat serangan udara terbaru itu. Ledakan keras mengguncang permukiman padat, membuat banyak keluarga panik dan kembali mengungsi.
Israel Klaim Targetkan Gudang Senjata
Militer Israel mengklaim bahwa serangan tersebut menyasar lokasi penyimpanan senjata yang dianggap mengancam keselamatan pasukannya. Namun, sejumlah saksi mata dan lembaga kemanusiaan menilai alasan itu hanya pembenaran atas tindakan militer yang melanggar perjanjian damai.
Pelanggaran ini pun mempertegas bahwa situasi di Gaza masih jauh dari kata aman. Serangan demi serangan terus berlangsung, meskipun dunia internasional menyerukan agar kedua belah pihak menahan diri.
Korban Tewas Tembus 104 Orang dalam Sehari
Hanya sehari sebelumnya, pada Selasa (28/10/2025), Israel melancarkan serangan besar-besaran ke wilayah selatan Gaza. Serangan itu menjadi yang paling mematikan sejak gencatan senjata diprakarsai oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Sedikitnya 104 warga Palestina tewas dalam waktu kurang dari 24 jam.
Serangan itu menghancurkan puluhan rumah dan fasilitas umum, termasuk sekolah dan tempat ibadah. Beberapa keluarga dilaporkan tewas seketika karena rumah mereka hancur lebur akibat bom yang dijatuhkan dari pesawat tempur.
Trump: “Serangan Israel Bukan Pelanggaran Gencatan Senjata”
Meski menuai kecaman dari berbagai pihak, Presiden AS Donald Trump justru menilai bahwa aksi militer Israel tersebut tidak termasuk pelanggaran gencatan senjata. Pernyataan itu sontak memicu kontroversi, terutama di kalangan aktivis dan organisasi kemanusiaan yang menilai komentar tersebut menunjukkan sikap tidak empati terhadap penderitaan rakyat Gaza.
Sejumlah analis politik Timur Tengah menyebut, pernyataan Trump bisa memperburuk situasi dan memberi sinyal keliru kepada Israel bahwa mereka bisa bertindak tanpa konsekuensi internasional.
Warga Gaza Kembali Dihantui Ketakutan
Di tengah reruntuhan bangunan dan suara pesawat tempur yang kembali terdengar, warga Gaza kini hidup dalam ketakutan. Mereka yang sempat bernapas lega karena percaya perang sudah berakhir, kini harus kembali berlari mencari perlindungan.
Khadija Al Husni, seorang perempuan pengungsi yang tinggal bersama anak-anaknya di sekolah kamp pengungsi Shati, menceritakan betapa sulitnya bertahan hidup di tengah situasi tersebut.
“Ini kejahatan. Tidak mungkin ada gencatan senjata jika bom masih jatuh setiap malam. Anak-anak saya tidak bisa tidur. Mereka pikir perang sudah selesai,” tuturnya dengan nada getir.
Khadija dan ratusan keluarga lain kini menggantungkan hidup pada bantuan kemanusiaan yang datang secara terbatas. Banyak dari mereka kekurangan air bersih, makanan, dan obat-obatan.
Dunia Internasional Desak Israel Hentikan Serangan
Sementara itu, berbagai lembaga internasional seperti PBB dan Amnesty International kembali mendesak Israel untuk menghentikan serangan dan mematuhi perjanjian damai yang telah disepakati. Mereka menilai tindakan militer yang terus dilakukan justru memperburuk krisis kemanusiaan di Gaza.
Namun hingga kini, belum ada tanda-tanda bahwa Israel akan menghentikan serangannya. Sebaliknya, aktivitas militer justru meningkat di beberapa titik perbatasan, terutama di area yang dianggap strategis.
Harapan Perdamaian yang Kian Pudar
Sejak gencatan senjata diumumkan pada awal Oktober, warga Gaza menaruh harapan besar agar perang segera berakhir. Mereka mulai memperbaiki rumah, membuka kembali toko, dan mengirim anak-anak ke sekolah. Tetapi kini, semua itu kembali hancur oleh suara bom yang mengguncang malam mereka.
Kehidupan di Gaza pun kembali lumpuh. Listrik hanya menyala beberapa jam sehari, sementara suplai bahan bakar terbatas. Banyak rumah sakit kewalahan menampung korban luka yang terus berdatangan.
Di sisi lain, para pengungsi berharap dunia tidak menutup mata terhadap tragedi kemanusiaan yang terus terjadi. Mereka ingin perdamaian yang nyata, bukan sekadar janji gencatan senjata di atas kertas.
Serangan terbaru Israel di Jalur Gaza menunjukkan bahwa situasi di wilayah itu masih jauh dari stabil. Meskipun ada kesepakatan gencatan senjata, kenyataan di lapangan justru menunjukkan sebaliknya. Ratusan warga sipil kembali menjadi korban, sementara harapan akan perdamaian semakin pudar di tengah desingan peluru dan ledakan bom.