Belum Genap Setahun, Kepala Daerah Sudah Ditangkap KPK - Ada Apa?
- KPK
Gadget – Belum genap satu tahun sejak pelantikan massal kepala daerah hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 pada 20 Februari 2025, dua pejabat daerah telah resmi ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka adalah Bupati Kolaka, Abdul Azis, dan Gubernur Riau, Abdul Wahid—keduanya ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang mengungkap praktik suap sistematis bernama “jatah preman”.
Kasus ini bukan insiden terisolasi. Data KPK mencatat, sejak berdiri hingga 2025, 171 bupati dan wali kota serta 30 gubernur telah terjerat kasus korupsi. Tahun 2024 saja, lima kepala daerah ditangkap KPK—dan kini, di awal 2025, angka itu bertambah. Fakta ini memicu pertanyaan kritis: mengapa kepala daerah terus-menerus terlibat korupsi, bahkan sejak hari pertama menjabat?
Artikel ini mengupas tuntas modus operandi terbaru, akar struktural di balik praktik korupsi kepala daerah, serta rekomendasi sistemik untuk memutus mata rantai yang tampaknya tak berujung ini.
Dua Kasus Terbaru: dari Kolaka ke Riau, Korupsi Mengakar Sistemik
1. Bupati Kolaka Abdul Azis: OTT di Tengah Janji Pembangunan
Meski detail kasusnya belum sepenuhnya diungkap publik, Abdul Azis ditangkap KPK dalam OTT terkait dugaan penyalahgunaan anggaran daerah. Ia menjadi simbol betapa jabatan eksekutif daerah rentan disalahgunakan hanya beberapa bulan setelah dilantik.
2. Gubernur Riau Abdul Wahid: “Jatah Preman” dan Rekor Memalukan
Kasus Abdul Wahid jauh lebih terstruktur dan menghebohkan. Provinsi Riau kini mencatat rekor nasional: empat gubernur yang ditangkap KPK sepanjang sejarah—dan Abdul Wahid adalah yang terbaru.
Menurut keterangan resmi KPK, Abdul Wahid memerintahkan bawahannya untuk menyetor fee 5 persen dari kenaikan anggaran proyek infrastruktur senilai Rp106 miliar—dari Rp71,6 miliar menjadi Rp177,4 miliar. Awalnya, fee yang diminta 2,5 persen, tetapi Arief Setiawan (Kepala UPT PUPR) justru menaikkan menjadi Rp7 miliar demi “memuaskan” sang gubernur.
Praktik ini dikenal di internal Dinas PUPR Riau sebagai “jatah preman”—sebuah istilah yang menggambarkan pemerasan berkedok otoritas birokrasi. Pejabat yang menolak bayar menghadapi ancaman pencopotan atau mutasi.
Dalam OTT pada 3 November 2025, KPK mengamankan:
- Rp800 juta uang tunai
- 7 pejabat daerah, termasuk Sekretaris Dinas PUPR dan lima Kepala UPT
- Abdul Wahid dan ajudannya di sebuah kafe di Pekanbaru
Total uang yang telah mengalir ke rekening pribadi sang gubernur sejak Juni 2025 mencapai Rp4,05 miliar.
Modus Lama, Kemasan Baru: Pola Korupsi yang Tak Pernah Berubah
Pakar tata kelola dari Transparansi Internasional Indonesia (TII), Agus Sarwono, menegaskan: modus korupsi kepala daerah masih sangat konvensional, tetapi kini lebih sistematis dan melibatkan banyak pihak.
Beberapa pola yang terus berulang:
- Pemanfaatan anggaran publik untuk kepentingan pribadi
- Pungutan liar dari bawahan dengan dalih “sumbangan”
- Main mata dalam perizinan proyek
- Mark-up anggaran proyek infrastruktur
Yang membedakan kasus Riau adalah mekanisme “fee” yang terstruktur, hampir seperti sistem franchise korupsi—di mana setiap penambahan anggaran otomatis memicu kewajiban setoran.
Akar Masalah #1: Ongkos Politik yang Tak Masuk Akal
Salah satu penyebab utama korupsi pasca-pilkada adalah biaya politik yang luar biasa mahal. Menurut data KPK, modal kampanye kepala daerah bisa mencapai Rp20–100 miliar.
“Konsekuensi logis dari modal besar adalah mengembalikannya dengan cara yang besar juga,” ujar Agus Sarwono.
Kepala daerah yang terpilih dengan utang kampanye besar merasa tertekan untuk segera ‘balik modal’. Karena gaji resmi tidak mencukupi, mereka mencari jalan pintas:
- Meminta “sumbangan” dari dinas
- Memainkan proyek APBD
- Menjual izin usaha atau tambang
Ironisnya, banyak dari biaya ini tidak tercatat dalam laporan resmi—seperti “biaya siluman” untuk dukungan penegak hukum, anggota DPR, atau kelompok masyarakat tertentu.
Akar Masalah #2: Sistem yang Masih Memberi Celah
Lakso Anindito, Ketua IM57+ Institute, menyoroti desain sistem pemerintahan daerah yang masih rentan disalahgunakan.
“Kepala daerah melihat kekuasaannya sebagai sumber pendapatan pribadi, bukan amanah publik,” katanya.
Beberapa celah struktural:
- Kekuasaan eksekutif terlalu dominan dalam penganggaran
- Pengawasan legislatif lemah atau ikut terlibat
- Minimnya transparansi pengeluaran tidak langsung
- Budaya patronase yang mengakar di birokrasi daerah
Tanpa reformasi sistemik, kasus seperti “jatah preman” akan terus muncul—hanya berganti nama dan aktor.
Rekor Riau: Empat Gubernur Ditangkap KPK—Apa Penyebabnya?
Provinsi Riau bukan hanya kaya sumber daya alam, tapi juga menjadi laboratorium korupsi sistemik. Empat gubernurnya—termasuk Syamsurizal, Rusli Zainal, Annas Maamun, dan kini Abdul Wahid—semuanya terjerat kasus serupa: suap terkait perizinan dan anggaran.
Faktor pendorong:
- APBD besar dari sektor migas dan perkebunan
- Proyek infrastruktur masif pasca-ibukota pindah
- Lemahnya kontrol sosial dan media lokal
- Budaya politik transaksional yang normalisasi suap
Riau menjadi cermin sempurna: sumber daya melimpah, tapi tata kelola bobrok.
Solusi: Dari Reformasi Pilkada hingga Sistem Pengawasan Digital
Para ahli sepakat: penindakan saja tidak cukup. Diperlukan terobosan struktural:
1. Batasi Biaya Kampanye & Larang Politik Uang
- Terapkan batas maksimal pengeluaran kampanye
- Audit ketat laporan dana kampanye
- Sanksi tegas bagi pelanggar, termasuk diskualifikasi
2. Perkuat Sistem E-Government & Transparansi APBD
- Publikasi real-time alokasi anggaran
- Platform pelaporan korupsi berbasis AI
- Integrasi data antar-dinas untuk deteksi anomali
3. Libatkan Masyarakat dalam Pengawasan
- Dorong forum warga pengawas APBD
- Beri insentif bagi whistleblower
- Edukasi literasi anggaran sejak sekolah
4. Revisi UU Pilkada untuk Kurangi Biaya Politik
- Seperti disarankan TII, perubahan sistem pemilihan—misalnya kembali ke DPRD atau hybrid—bisa mengurangi tekanan biaya kampanye.
Kesimpulan: Pejabat Bukan “Raja”, Tapi Pelayan Publik
Kasus Abdul Wahid dan Abdul Azis bukan sekadar soal pribadi yang korup—melainkan gejala sistem yang sakit. Selama biaya politik tetap mahal, pengawasan lemah, dan sanksi tidak menjerakan, kepala daerah akan terus melihat jabatan sebagai investasi, bukan pelayanan.
Masyarakat berhak marah. Tapi kemarahan harus diubah menjadi tekanan kolektif untuk reformasi. Karena tanpa itu, daftar 171 bupati dan 30 gubernur korup akan terus bertambah—dan rakyatlah yang selalu menjadi korban terakhir.
Jabatan bukan hak, tapi amanah. Dan amanah yang dikhianati, akan jadi beban di hari pengadilan—di dunia maupun akhirat.
| Dapatkan informasi terbaru seputar Gadget, Anime, Game, Tech dan Berita lainnya setiap hari melalui social media Gadget VIVA. Ikuti kami di : | |
|---|---|
| @gadgetvivacoid | |
| Gadget VIVA.co.id | |
| X (Twitter) | @gadgetvivacoid |
| Whatsapp Channel | Gadget VIVA |
| Google News | Gadget |