Keraton Surakarta Memanas: Benowo Bantah Mandat Tedjowulan, Ungkap Penobatan Mendadak Hangabehi

Keraton Surakarta Memanas: Benowo Bantah Mandat Tedjowulan, Ungkap Penobatan Mendadak Hangabehi
Sumber :
  • Dok. Keraton Kasunanan Surakarta

Gadget – Di tengah duka mendalam atas wafatnya SISKS Pakubuwono (PB) XIII, suasana Keraton Kasunanan Surakarta justru membara oleh konflik suksesi takhta yang kian tak terkendali. Dua klaim penerus tahta bermunculan, dan kini KGPH Benowo, adik kandung almarhum PB XIII, angkat suara dengan mengungkap momen mengejutkan di balik penobatan KGPH Mangkubumi (Hangabehi) serta menolak tegas klaim KGPA Tedjowulan sebagai raja ad interim.

Dalam wawancara usai prosesi Hajad Dalem Jumenengan Dalem Nata Binayangkare PB XIV di Sitinggil Keraton Surakarta pada Sabtu, 15 November 2025, Benowo mengungkap kejanggalan prosedural, ketidakhadirannya dalam rapat keluarga, serta sikap kritisnya terhadap campur tangan pemerintah dalam urusan keraton.

Artikel ini menguraikan kronologi lengkap, pernyataan eksklusif Benowo, penolakan terhadap klaim raja sementara, serta dinamika internal yang berpotensi menggoyahkan eksistensi Keraton Surakarta.

Detik-Detik Penobatan Mendadak Hangabehi: “Tiba-Tiba Dinobatkan, Banyak yang Kabur”

KGPH Benowo mengungkap bahwa ia sengaja tidak menghadiri rapat keluarga keraton yang digelar di Sasono Hondriwino pada Kamis, 13 November 2025 dua hari sebelum upacara penobatan. Alasannya? Firasat tidak enak.

“Perasaan saya sudah tidak enak. Saya dapat undangannya. Rapat apa ya, dan rapatnya kok di situ,” ujarnya. 

Ia sempat bersiap berangkat, namun akhirnya membatalkan. Keputusannya terbukti tepat: rapat yang seharusnya membahas suksesi justru berubah menjadi upacara penobatan spontan.

“Ternyata benar, tiba-tiba di situ menobatkan si Suryo Suharto atau Mangkubumi menjadi pengganti Pakubuwono XIV,” tegasnya. 

Menurut Benowo, sejumlah anggota keluarga keraton termasuk putra-putra PB XII merasa terkejut dan menolak prosesi tersebut. Mereka memilih keluar dari ruangan sebagai bentuk protes.

“Gusti Puger keluar, Gusti Neno keluar, Gusti Menul keluar… Kok aneh, disuruh rapat, eh malah disuruh menyaksikan jumenengan?” 

Fakta ini memperlihatkan bahwa penobatan Hangabehi tidak disepakati secara kolektif, melainkan didominasi oleh sekelompok kecil yang mengambil inisiatif sepihak sebuah preseden berbahaya dalam tradisi keraton yang menekankan musyawarah dan kebulatan keluarga.

Penolakan Tegas terhadap Klaim KGPA Tedjowulan sebagai Raja Ad Interim

Selain konflik antar calon raja, muncul pula klaim dari KGPA Tedjowulan, Mahamenteri Keraton Surakarta sekaligus adik PB XIII, yang menyatakan dirinya ditunjuk sebagai raja ad interim berdasarkan mandat dari Kementerian Dalam Negeri (Mendagri).

KGPH Benowo langsung membantah klaim tersebut dengan tegas.

“Gusti Tedjowulan itu sebenarnya sebagai pendamping Pakubuwono XIII. Kalau pendampingnya sudah meninggal, mau mendampingi siapa?” 

Ia menegaskan bahwa jabatan Mahamenteri tidak bersifat otomatis berlanjut ke pemerintahan raja baru. Jika Tedjowulan ingin kembali mendampingi PB XIV, harus ada pengukuhan ulang secara adat yang hingga kini tidak pernah terjadi.

Lebih tajam lagi, Benowo meragukan keberadaan surat keputusan Mendagri yang diklaim sebagai dasar hukum.

“Pakai surat Menteri Dalam Negeri? Lha, Menteri Dalam Negeri ra urusan! Urusannya untuk Pemda, masa untuk keraton? Kalau keraton makar, baru urusan negara. Kalau tidak, masa mau diadili?” 

Pernyataan ini menggarisbawahi prinsip lama: keraton adalah lembaga adat-budaya, bukan entitas pemerintahan. Campur tangan birokrasi pusat dalam suksesi internal dianggap melanggar otonomi budaya Keraton Surakarta.

Sikap Benowo Soal Campur Tangan Pemerintah: “Silakan Ambil Keraton Ini”

Menariknya, KGPH Benowo justru tidak keberatan jika pemerintah memutuskan mengambil alih Keraton Surakarta akibat konflik internal.

“Silakan, saya senang kalau keraton mau diambil pemerintah. Memang pemerintah yang ngambil punyanya masih kurang?” 

Ia bahkan menyindir bahwa keraton telah lama dikontrol pemerintah, terutama sejak ditetapkan sebagai cagar budaya.

“Sudah dijadikan cagar budaya, nggak bisa apa-apa. Mau buat WC aja harus laporan… Kenapa Yogya tidak dijadikan cagar budaya juga? Ini ada tanda tanya.” 

Kritik ini menyentuh ketimpangan perlakuan negara terhadap dua keraton utama Jawa: Yogyakarta (yang memiliki status istimewa dan otonomi luas) vs Surakarta (yang sejak 1946 kehilangan status kerajaan dan hanya diakui sebagai lembaga budaya).

Latar Belakang Konflik: Dua Calon, Satu Takhta

Sejak wafatnya PB XIII, dua putranya muncul sebagai calon kuat penerus takhta:

  • KGPH Puruboyo, yang kemudian dinobatkan sebagai KGPAA Hamangkunegoro dan menggelar upacara Jumenengan Dalem Nata Binayangkare pada 15 November 2025.
  • KGPH Mangkubumi (Hangabehi), yang menobatkan diri sendiri dalam rapat keluarga pada 13 November.

Kedua pihak mengklaim legitimasi berdasarkan garis keturunan, restu internal, dan interpretasi adat. Namun, tidak ada keputusan Majelis Adat Keraton yang mengesahkan salah satunya sehingga konflik berpotensi berlarut.

Apa Kata Tradisi? Suksesi Keraton Bukan Sekadar Siapa Lebih Tua

Dalam wawancara terpisah sebelumnya, KGPH Benowo pernah menegaskan bahwa usia bukan satu-satunya penentu penerus takhta.

“Lebih tua bukan berarti harus jadi raja.” 

Dalam tradisi Kasunanan, karakter, kesiapan spiritual, dukungan keluarga besar, dan restu para sesepuh jauh lebih penting daripada urutan kelahiran. Faktor-faktor inilah yang kini tengah diperebutkan dan sayangnya, diperebutkan di ruang publik, bukan dalam musyawarah tertutup seperti lazimnya.

Dampak pada Eksistensi Keraton Surakarta

Konflik terbuka ini berisiko melemahkan otoritas moral keraton di mata masyarakat dan pemerintah. Jika tidak segera diselesaikan melalui forum adat yang netral seperti Majelis Adat Keraton Kasunanan Surakarta maka:

  • Otoritas PB XIV mana pun akan dipertanyakan
  • Dukungan masyarakat bisa terpecah
  • Pemerintah daerah atau pusat mungkin ikut campur dengan alasan “menjaga stabilitas”
  • Citra keraton sebagai simbol budaya Jawa bisa tercoreng

Kesimpulan: Antara Adat, Kuasa, dan Masa Depan Keraton

KGPH Benowo tidak hanya membongkar kejanggalan prosedural ia juga mengingatkan kembali pada prinsip dasar keraton: bahwa tahta bukanlah alat rebutan, melainkan amanah sakral yang harus diterima dengan restu kolektif.

Penobatan mendadak, klaim mandat pemerintah, dan penolakan dari anggota keluarga inti menunjukkan bahwa suksesi PB XIV belum final. Dan selama tidak ada konsensus, Keraton Surakarta akan terus hidup dalam bayang-bayang dualitas dua raja, dua narasi, satu takhta yang terbelah.

Bagi masyarakat Jawa, keraton bukan sekadar bangunan tua ia adalah pusat spiritual, budaya, dan identitas. Dan kali ini, jantung itu sedang berdebar kencang dalam ketidakpastian.

 

Dapatkan informasi terbaru seputar Gadget, Anime, Game, Tech dan Berita lainnya setiap hari melalui social media Gadget VIVA. Ikuti kami di :
Instagram@gadgetvivacoid
FacebookGadget VIVA.co.id
X (Twitter)@gadgetvivacoid
Whatsapp ChannelGadget VIVA
Google NewsGadget