Israel Masih Menguasai Gaza Meski Gencatan Senjata Berjalan, Apa yang Terjadi?
- UN
Satu bulan setelah gencatan senjata antara Israel dan Hamas diberlakukan, situasi di Jalur Gaza ternyata belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Meski kesepakatan damai disepakati pada 10 Oktober lalu, kehadiran militer Israel di wilayah tersebut masih sangat dominan dan bahkan melebihi setengah dari luas area Gaza. Kondisi ini memunculkan kekhawatiran baru mengenai keberlanjutan proses perdamaian yang sejak awal sudah berjalan tersendat.
Menurut Duta Besar Palestina untuk Austria, Salah Abdel Shafi, Israel tetap menempatkan pasukan militernya di lebih dari 50 persen wilayah Gaza. Tidak hanya itu, operasi militer yang dilakukan di area yang mereka sebut sebagai “garis kuning” masih berlangsung secara intensif. Shafi menyebut bahwa Israel melakukan penghancuran sistematis terhadap bangunan, rumah penduduk, hingga seluruh permukiman yang berada di zona tersebut. Pernyataan ini disampaikan dalam wawancaranya dengan kantor berita Rusia, RIA Novosti, pada Senin (17/11/2025).
Selain mempertahankan keberadaan pasukan, Israel juga dinilai melanggar sejumlah ketentuan dalam perjanjian gencatan senjata. Salah satu pelanggaran paling krusial adalah pembatasan masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza. Padahal, dalam perjanjian itu sudah disepakati bahwa 600 truk bantuan harus masuk setiap hari untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat Gaza.
Namun kenyataannya, menurut Shafi, jumlah truk bantuan yang diizinkan masuk tidak pernah mencapai angka tersebut. Ia menyebut hanya sekitar 300 truk per hari yang berhasil menembus perbatasan. Akibatnya, warga Gaza semakin terdesak oleh minimnya obat-obatan, peralatan medis, hingga kebutuhan pangan. Kekurangan ini memperburuk kondisi kemanusiaan yang sejak lama sudah menjadi sorotan dunia.
Shafi menegaskan bahwa pembatasan bantuan itu menjadi bukti bahwa Israel tidak mematuhi kesepakatan gencatan senjata. Menurutnya, tindakan tersebut tidak hanya melanggar perjanjian tetapi juga menempatkan warga sipil dalam situasi yang semakin rentan. Selain itu, ia menyebut pembatasan tersebut sebagai bentuk tekanan politik yang dapat menghambat proses penyelesaian konflik secara menyeluruh.
Sementara itu, laporan dari berbagai lembaga kemanusiaan juga menunjukkan fakta mencengangkan. Selama masa gencatan senjata berlangsung, Israel disebut telah menghancurkan lebih dari 1.500 bangunan di Gaza. Tindakan ini memicu kritik keras dari komunitas internasional yang menilai bahwa penghancuran infrastruktur sipil hanya akan memperdalam krisis kemanusiaan di daerah tersebut.
Tidak hanya dari pihak Palestina, kritik juga datang dari sejumlah politisi Amerika Serikat. Puluhan anggota legislatif AS bahkan mengajukan resolusi yang menuduh Israel melakukan tindakan genosida di Gaza. Resolusi tersebut menggambarkan meningkatnya tekanan internasional terhadap Israel untuk menghentikan tindakan agresifnya dan mematuhi perjanjian damai yang telah disepakati.
Di sisi lain, proses gencatan senjata yang disepakati berdasarkan proposal damai 20 poin yang diajukan Presiden AS Donald Trump sebenarnya memiliki beberapa tahapan penting. Setelah masa gencatan senjata pertama diberlakukan, kini kesepakatan memasuki fase kedua. Fase ini mencakup proses perlucutan senjata Hamas dan pembentukan pemerintahan sementara di Gaza. Meski begitu, tahapan ini diprediksi berjalan alot.
Hamas sudah menegaskan bahwa mereka tidak akan menyerahkan senjata begitu saja. Penyerahan hanya akan dilakukan jika Tentara Nasional Palestina telah dibentuk. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan pandangan yang tajam mengenai masa depan keamanan dan pemerintahan di Gaza. Situasi tersebut membuat proses perdamaian berpotensi berjalan lebih panjang dan rumit.
Dengan berbagai fakta di lapangan, masa depan gencatan senjata ini tampak penuh tantangan. Serangkaian pelanggaran, mulai dari penghancuran permukiman hingga pembatasan bantuan, mengindikasikan bahwa perdamaian yang diharapkan masih berada dalam jarak yang jauh. Sementara itu, kondisi warga Gaza yang terus memburuk menjadi pengingat bahwa konflik ini bukan hanya soal politik dan strategi, tetapi juga tentang nyawa jutaan orang yang berharap pada ketenangan yang belum kunjung datang.