Gen Alpha Tak Akan Pernah Mengetik Lagi! 2028 Jadi Era Kerja dengan Suara, Bukan Keyboard

Gen Alpha Tak Akan Pernah Mengetik Lagi! 2028 Jadi Era Kerja dengan Suara, Bukan Keyboard
Sumber :
  • erablue

Gadget – Dalam waktu kurang dari empat tahun, cara manusia bekerja bisa berubah secara radikal. Menurut studi terbaru dari London School of Economics (LSE) yang diprakarsai bersama perusahaan teknologi komunikasi Jabra, keyboard simbol abadi dunia kerja digital selama hampir seabad berpotensi menjadi benda koleksi museum.

Media Asing Optimistis Timnas U-17 Tembus Babak 32 Besar Piala Dunia 2025

Prediksi utamanya: pada tahun 2028, antarmuka berbasis suara akan menjadi metode dominan dalam komunikasi dan penciptaan konten di tempat kerja, terutama di kalangan Generasi Alpha mereka yang lahir setelah tahun 2010.

Namun, di balik optimisme akan efisiensi dan kreativitas yang lebih alami, muncul kekhawatiran serius dari akademisi dan profesional tentang kejelasan, akuntabilitas, dan keberlanjutan komunikasi berbasis suara. Artikel ini mengupas prediksi LSE, potensi revolusi kerja berbasis suara, serta tantangan nyata yang menghadang sebelum keyboard benar-benar pensiun.

Prediksi LSE: “Pertama Ucap, Lalu Edit” Bukan “Ketik dari Nol”

Inti dari laporan LSE-Jabra adalah pergeseran paradigma dalam proses kerja kreatif.

Samsung Galaxy Watch 8, Smartwatch Canggih yang Jadi Sahabat Terbaik Pengguna Android

“Draf pertama akan diucapkan, bukan diketik.” 

Demikian disampaikan Paul Sephton, Global Head of Brand Communications di Jabra, kepada Fortune. Menurutnya, di dunia kerja berbasis AI masa depan, mengetik hanya akan berfungsi sebagai langkah penyuntingan, bukan sebagai alat utama untuk menghasilkan ide.

Bagi Gen Alpha yang tumbuh dengan asisten suara seperti Siri, Alexa, dan Google Assistant sejak balita berbicara ke perangkat terasa lebih alami daripada mengetik. Mereka terbiasa memberi perintah, bertanya, bahkan bercerita kepada mesin hanya dengan suara.

Studi ini berargumen bahwa pola pikir manusia bersifat percakapan, cepat, dan iteratif sesuatu yang lebih mudah diekspresikan lewat ucapan daripada mengetik. Dengan AI yang mampu merekam, mentranskripsi, dan menyusun ulang ucapan menjadi teks koheren, produktivitas bisa melonjak, terutama bagi:

  • Orang tua yang bekerja sambil mengasuh anak
  • Profesional yang sering bepergian
  • Tim lapangan yang butuh tangan bebas

Bayangkan: seorang manajer proyek bisa mendikte laporan harian saat mengemudi, lalu AI menyusunnya menjadi dokumen siap kirim tanpa satu pun jari menyentuh keyboard.

Mengapa Suara Lebih “Manusiawi” dalam Proses Kerja Kreatif?

Laporan LSE menekankan bahwa mengetik sering kali menghambat alur pikir alami. Saat menulis, otak harus melakukan dua tugas sekaligus:

  • Menghasilkan ide
  • Mengonversinya menjadi struktur teks yang “benar”

Proses ini bisa memicu blok kreatif atau writer’s block. Sebaliknya, berbicara memungkinkan aliran ide mengalir bebas, tanpa hambatan tata bahasa atau ejaan. AI kemudian mengambil alih tugas “pembersihan” mengatur kalimat, memperbaiki tata bahasa, dan menyusun struktur logis.

Fitur seperti AI-powered voice-to-text dengan konteks adaptif (seperti Gemini Voice atau Otter.ai versi lanjut) kini semakin canggih. Mereka tidak hanya menyalin suara, tapi memahami maksud, nada, dan konteks percakapan, lalu menghasilkan teks profesional dalam hitungan detik.

Untuk Gen Alpha, yang tumbuh di era instant messaging dan voice note, transisi ke model kerja berbasis suara terasa intuitif, bukan revolusioner.

Kritik dari Para Ahli: Suara Tak Bisa Gantikan Tulisan

Namun, tidak semua pihak yakin bahwa masa depan kerja benar-benar “tanpa keyboard”. Sejumlah akademisi dan praktisi bisnis menyuarakan keraguan mendalam terhadap narasi voice-first yang terlalu optimis.

1. Suara Sulit Dikaji dan Dicari Kembali
Prof. Fabrice Cavarretta dari ESSEC Business School menyoroti kelemahan mendasar komunikasi suara:

“Pesan suara tidak bisa diskim, tidak bisa dicari berdasarkan kata kunci, dan sulit dipindai cepat.” 

Dalam dunia kerja yang serba cepat, efisiensi akses informasi jauh lebih penting daripada kecepatan input. Email, dokumen teks, atau notulensi rapat dalam bentuk tertulis bisa dipindai dalam 10 detik untuk menemukan poin penting. Suara? Harus didengarkan dari awal hingga akhir.

2. Masalah Akuntabilitas dan Dokumentasi
Bertrand Audrin dari EHL Hospitality Business School menambahkan:

“Kecuali ditranskripsi, komunikasi suara mengikis akuntabilitas. Siapa bilang apa, kapan, dan dalam konteks apa semua jadi kabur.” 

Di lingkungan kerja yang mengandalkan log keputusan, audit trail, atau compliance, ketiadaan catatan tertulis bisa berujung pada konflik, kesalahpahaman, atau bahkan risiko hukum.

3. Editing Ucapan Mentah Tidaklah Mudah
Ucapan manusia penuh dengan jeda, pengulangan, slang, dan struktur tidak lengkap. Mengubahnya menjadi teks profesional membutuhkan intervensi signifikan, terutama untuk:

  • Penutur non-native
  • Orang dengan logat kuat
  • Komunikasi informal yang perlu diformalkan

AI belum sepenuhnya mampu memahami nuansa sosial dan konteks budaya dalam ucapan. Hasil transkripsi sering kali memerlukan penyuntingan manual yang melelahkan menggerus klaim “efisiensi” dari model kerja berbasis suara.

Masa Depan Hybrid: Bukan “Suara vs Keyboard”, Tapi “Suara + AI + Teks”

Alih-alih menggantikan keyboard sepenuhnya, para ahli sepakat bahwa masa depan akan bersifat hibrida.

  • Input awal: dilakukan lewat suara (alami, cepat, bebas hambatan)
  • Pemrosesan: dilakukan oleh AI (transkripsi, struktur, pembersihan)
  • Output akhir: dalam bentuk teks (jelas, bisa dicari, bisa diaudit)

Dengan kata lain, keyboard tidak akan lenyap perannya hanya bergeser. Dari alat produksi utama menjadi alat penyempurna akhir. Dan AI menjadi jembatan antara spontanitas ucapan dan ketepatan teks.

Untuk Gen Alpha, ini bukan ancaman melainkan peningkatan alami atas cara mereka sudah berinteraksi dengan teknologi sejak kecil.

Tren Pendukung: AI Glasses dan Asisten Suara yang Semakin Cerdas

Prediksi LSE didukung oleh gelombang inovasi perangkat pendukung. Contohnya:

  • Meizu StarV Snap AI Glasses: kacamata pintar dengan chip Snapdragon AR1, kamera 12MP, dan asisten AI bawaan memungkinkan pengguna merekam, berkomunikasi, dan bekerja hanya dengan suara.
  • AI Search Engines: mesin pencari baru mulai memprioritaskan konten dari sumber kecil yang dihasilkan secara alami sering kali melalui input suara atau percakapan.

Ini menunjukkan bahwa infrastruktur teknologi untuk dunia kerja berbasis suara sedang dibangun secara masif.

Kesimpulan: Revolusi, Bukan Penggantian Total

Keyboard tidak akan “punah” dalam arti harfiah. Namun, perannya sebagai gerbang utama ke dunia digital memang sedang memudar terutama bagi generasi yang lahir di era AI.

Prediksi LSE bukanlah fiksi ilmiah, melainkan proyeksi logis dari tren teknologi, perilaku pengguna, dan evolusi antarmuka manusia-mesin. Tantangannya bukan pada teknologi, tapi pada desain sistem kerja yang tetap menjaga kejelasan, akuntabilitas, dan inklusivitas.

Gen Alpha mungkin tidak akan pernah mengetik laporan seperti generasi sebelumnya. Tapi mereka akan menguasai seni mengomandoi AI lewat suara, lalu menyempurnakan hasilnya dengan sentuhan akhir mungkin, justru lewat keyboard mini di layar ponsel mereka.

Di akhir hari, masa depan kerja bukan tentang alat yang digunakan, tapi tentang ide yang disampaikan. Dan kini, Anda bisa menyampaikannya cukup dengan berbicara.

Dapatkan informasi terbaru seputar Gadget, Anime, Game, Tech dan Berita lainnya setiap hari melalui social media Gadget VIVA. Ikuti kami di :
Instagram@gadgetvivacoid
FacebookGadget VIVA.co.id
X (Twitter)@gadgetvivacoid
Whatsapp ChannelGadget VIVA
Google NewsGadget