Waspada! Redenominasi Bisa Bikin Ekonomi Kolaps, Lihat Nasib Zimbabwe & Argentina

Waspada! Redenominasi Bisa Bikin Ekonomi Kolaps—Lihat Nasib Zimbabwe & Argentina
Sumber :
  • indonesia.go.id

Gadget – Wacana redenominasi rupiah kembali menguat. Pada Oktober 2025, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa resmi memasukkan kebijakan penyederhanaan nilai mata uang ke dalam Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2025–2029 melalui PMK Nomor 70 Tahun 2025. Targetnya jelas: Rancangan Undang-Undang (RUU) Redenominasi Rupiah harus rampung pada 2027.

Venezuela Siagakan Ribuan Rudal Igla-S untuk Hadapi Ancaman Amerika Serikat

Namun, di balik semangat reformasi administratif ini, ada peringatan keras dari sejarah dunia: tidak semua negara sukses saat melakukan redenominasi. Bahkan, beberapa justru mengalami kekacauan ekonomi, inflasi liar, hingga kehilangan kepercayaan publik terhadap mata uang nasional.

Artikel ini mengupas kasus-kasus redenominasi yang gagal Zimbabwe, Venezuela, dan Argentina serta pelajaran krusial yang harus diambil Indonesia sebelum benar-benar menjalankan kebijakan sensitif ini.

Dunia Tegang! AS Kerahkan Kapal Induk ke Karibia, Isyarat Serangan ke Venezuela Kian Nyata

Apa Itu Redenominasi? Bukan Pemotongan Nilai, Tapi Penyederhanaan Digit

Sebelum membahas kegagalan, penting dipahami: redenominasi bukan devaluasi.

Trump Ancam Serang Venezuela, AS Siapkan Operasi Militer Darat

“Redenominasi hanya memangkas digit angka pada uang, bukan memangkas nilai,” tegas Josua Pardede, Chief Economist Permata Bank. 

Misalnya, Rp1.000 menjadi Rp1, Rp1 juta menjadi Rp1.000 tapi daya belinya tetap sama. Tujuannya administratif dan psikologis: mempermudah transaksi, akuntansi, sistem perbankan, dan mengurangi kesan “uang besar” yang bisa mengganggu persepsi ekonomi.

Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada kondisi ekonomi makro dan kesiapan teknis. Jika dilakukan saat ekonomi rapuh, redenominasi bisa memicu kepanikan, spekulasi, bahkan inflasi.

Zimbabwe: Redenominasi di Tengah Hiperinflasi Bencana yang Tak Terelakkan

Tak ada contoh kegagalan redenominasi yang lebih dramatis daripada Zimbabwe.

Antara 2006 hingga 2009, Zimbabwe mengalami hiperinflasi terburuk dalam sejarah modern. Pada puncaknya, tingkat inflasi mencapai 79,6 miliar persen per bulan. Uang kertas bergambar miliaran bahkan triliunan Zimbabwe Dollar (ZWD) beredar tapi nilainya tak cukup untuk membeli sepotong roti.

Dalam keputusasaan, pemerintah Zimbabwe melakukan empat kali redenominasi dalam tiga tahun:

  • 2006: Hapus 3 nol → ZWD baru
  • 2008: Hapus 10 nol → ZWD kedua
  • 2008 (lagi): Hapus 12 nol → ZWD ketiga
  • 2009: Hapus 12 nol lagi → ZWD keempat (1 ZWD baru = 1 triliun ZWD lama)

Namun, tanpa stabilitas ekonomi dan kepercayaan publik, redenominasi justru memperparah kekacauan. Masyarakat kehilangan kepercayaan pada mata uang nasional. Akhirnya, pada 2009, Zimbabwe melegalkan penggunaan mata uang asing terutama dolar AS dan rand Afrika Selatan.

Ironisnya, Zimbabwe baru kembali menciptakan mata uang nasional pada 2019, satu dekade setelah kegagalannya. Dan hingga kini, nilai tukarnya masih sangat tidak stabil.

Pelajaran untuk Indonesia: Redenominasi tidak bisa menggantikan kebijakan fiskal dan moneter yang sehat. Tanpa itu, pemangkasan nol hanyalah "kosmetik" yang berujung pada kehancuran kepercayaan. 

Venezuela: Redenominasi Berulang, Tapi Inflasi Tak Pernah Berhenti

Venezuela adalah contoh lain redenominasi yang sia-sia karena akar masalah ekonominya tak pernah diselesaikan.

Sejak 2008, Venezuela telah melakukan setidaknya lima kali redenominasi:

  • 2008: Bolívar Fuerte (hapus 3 nol)
  • 2018: Bolívar Soberano (hapus 5 nol)
  • 2021: Bolívar Digital (hapus 6 nol)

Total: 14 nol telah dipangkas dalam 13 tahun.

Namun, inflasi tetap merajalela. Pada 2024, inflasi tahunan Venezuela masih di atas 50%, dan masyarakat lebih memilih bertransaksi dalam dolar AS atau kripto.

Masalahnya? Krisis ekonomi struktural: produksi minyak anjlok, defisit fiskal kronis, sanksi internasional, dan manajemen keuangan yang buruk. Redenominasi hanya menyembunyikan gejala, bukan menyembuhkan penyakit.

Pelajaran untuk Indonesia: Jika fundamental ekonomi lemah nilai tukar tidak stabil, defisit anggaran besar, atau inflasi tidak terkendali redenominasi justru bisa memicu lonjakan ekspektasi inflasi. 

Argentina: Redenominasi yang Tidak Menyelesaikan Masalah Utang

Argentina, meski tidak se-ekstrem Zimbabwe atau Venezuela, juga mengalami redenominasi yang tidak berdampak signifikan.

Peso Argentina telah mengalami beberapa kali restrukturisasi nilai sepanjang sejarah, terutama pasca-krisis 1998–2002. Namun, masalah utang luar negeri, defisit fiskal, dan dualisme nilai tukar (resmi vs pasar gelap) terus menggerogoti stabilitas peso.

Meski redenominasi dilakukan, masyarakat tetap tidak percaya pada peso. Banyak transaksi properti, mobil, bahkan gaji profesional dibayar dalam dolar AS.

Pelajaran untuk Indonesia: Tanpa kepercayaan publik dan stabilitas kebijakan, redenominasi tidak akan mengubah perilaku ekonomi masyarakat. 

Kontras: Negara yang Sukses Turki, Brasil, Prancis

Untuk menyeimbangkan, ada pula negara yang sukses:

  • Turki (2005–2009): Menghapus 6 nol, ganti TL jadi YTL. Berhasil karena pertumbuhan ekonomi stabil dan komunikasi publik intensif.
  • Brasil (1994): Redenominasi jadi bagian dari Plano Real, paket reformasi makroekonomi yang komprehensif.
  • Prancis (2002): Redenominasi seiring transisi ke euro dilakukan dalam konteks integrasi Eropa yang terencana.

Kuncinya? Semua negara ini melakukan redenominasi saat ekonomi sedang stabil atau membaik, bukan saat krisis.

Ancaman bagi Indonesia: Biaya, Risiko Inflasi, dan Kesiapan Sistem

Ekonom Nailul Huda dari CELIOS memperkirakan, proses redenominasi rupiah butuh 8 tahun:

  • 3–4 tahun untuk pembahasan RUU
  • 4 tahun untuk persiapan teknis dan simulasi

Biayanya? Bisa mencapai ratusan miliar rupiah, ditanggung pemerintah dan swasta (perbankan, ritel, sistem IT, ATM, dll).

Lukman Leong, analis Doo Financial Futures, menekankan:

“Sistem harus beralih serentak. Jika ada standar ganda, akan terjadi kekacauan.” 

Selain itu, masyarakat harus benar-benar paham bahwa redenominasi bukan kenaikan harga. Jika tidak, pedagang bisa memanfaatkan momen ini untuk menaikkan harga dengan dalih “penyesuaian” dan memicu inflasi.

Syarat Wajib Redenominasi Menurut Ahli

Menurut Josua Pardede, redenominasi hanya aman jika:

  • Inflasi terkendali (di bawah 4%)
  • Nilai tukar rupiah stabil
  • Ekspektasi harga terjaga
  • Situasi sosial-politik kondusif
  • Sosialisasi massif dan berkelanjutan

“Pengalaman global menunjukkan keberhasilan hanya terjadi saat dilakukan dalam kondisi ekonomi stabil,” tambahnya. 

Sayangnya, kondisi rupiah hingga 2025 masih rentan terhadap gejolak global krisis geopolitik, kenaikan suku bunga AS, dan defisit perdagangan masih jadi ancaman.

Kesimpulan: Redenominasi Bukan Solusi Ajaib Tapi Risiko Besar Jika Salah Waktu

Indonesia memang perlu menata sistem moneter jangka panjang. Redenominasi bisa jadi bagian dari itu tapi bukan obat darurat untuk masalah kurs atau inflasi.

Sejarah Zimbabwe, Venezuela, dan Argentina memberi peringatan tegas:

Jangan pernah melakukan redenominasi hanya karena “sudah waktunya” atau “negara lain pernah”. Lakukan hanya saat ekonomi benar-benar siap. 

Dengan target RUU selesai 2027, pemerintah harus:

  • Fokus dulu pada stabilisasi nilai tukar
  • Perkuat fundamental fiskal dan moneter
  • Bangun konsensus nasional dan edukasi publik

Jika tidak, Indonesia berisiko mengulangi kesalahan negara-negara yang gagal dan membayar mahal dalam bentuk kepercayaan rakyat terhadap rupiah.

Redenominasi bukan soal memangkas nol. Tapi soal membangun kepercayaan.
Dan kepercayaan itu, sekali hancur, sulit dikembalikan. 

Dapatkan informasi terbaru seputar Gadget, Anime, Game, Tech dan Berita lainnya setiap hari melalui social media Gadget VIVA. Ikuti kami di :
Instagram@gadgetvivacoid
FacebookGadget VIVA.co.id
X (Twitter)@gadgetvivacoid
Whatsapp ChannelGadget VIVA
Google NewsGadget