"Kalau Nggak Kuat Jalan, Mati!" Ancaman Halus Adik PB XIII soal Dualisme Raja Solo

"Kalau Nggak Kuat Jalan, Mati!" Ancaman Halus Adik PB XIII soal Dualisme Raja Solo
Sumber :
  • Wikimedia

Gadget – Tegangan di balik tembok Keraton Kasunanan Surakarta kian memuncak. Setelah kematian Sri Susuhunan Paku Buwono XIII (PB XIII), dua putranya KGPH Purbaya dan KGPH Mangkubumi masing-masing mengklaim sebagai penerus sah takhta dengan gelar Paku Buwono XIV. Konflik suksesi ini tak hanya mengganggu harmoni keluarga kerajaan, tetapi juga menguji legitimasi adat Jawa yang selama ratusan tahun menjaga keutuhan simbol kerajaan.

PB XIV Purbaya Bagi-Bagi Gelar, Lembaga Adat Belum Akui, Tedjowulan Bereaksi

Di tengah kegaduhan itu, KGPH Benowo, adik kandung almarhum PB XIII, angkat bicara. Ditemui di Siti Hinggil pada Sabtu, 15 November 2025, Benowo menyampaikan tanggapan yang terkesan santai namun mengandung peringatan tajam bagi siapa pun yang bersikeras menobatkan diri sebagai raja tanpa legitimasi penuh.

“Kalau masih ada yang menyangkal karena ada yang lainnya jumeneng silakan monggo, kita tidak apa-apa. Nah, kita hanya niteni. Kuat jalan nggak? Nggak kuat pasti sakit, kalau nggak mati, hanya itu,” ujarnya. 

Keraton Surakarta Memanas: Benowo Bantah Mandat Tedjowulan, Ungkap Penobatan Mendadak Hangabehi

Ucapan itu bukan sekadar sindiran melainkan pernyataan filosofis Jawa yang menyiratkan bahwa takhta kerajaan bukan mainan. Menurut kepercayaan tradisional, seseorang yang menduduki posisi luhur tanpa wahyu (restu ilahi) atau dukungan spiritual dan adat yang kuat akan mengalami kehancuran spiritual, fisik, atau sosial.

"Tak Pernah Ada Juara Dua Orang": Prinsip Takhta dalam Adat Jawa
Benowo menegaskan prinsip mendasar dalam sistem kerajaan Jawa: takhta hanya untuk satu penguasa.

Putra Mahkota Usia 22 Tahun Ini Calon Pengganti PB XIII—Siapa Lawannya?

“Tidak ada toh yang namanya juara kok ada dua orang itu,” tegasnya. 

Ia mengakui bahwa dalam setiap pergantian raja, selalu ada pihak yang merasa tidak cocok, apalagi jika ada anggapan bahwa salah satu calon lebih tua usianya. Namun, usia bukan penentu utama dalam suksesi Kasunanan Surakarta.

“Lebih tua bukan berarti harus menjadi rajanya. Contohne bapak saya juga bukan yang tertua, anak bontot nggih. Paku Buwono X juga bukan yang tua,” jelasnya. 

Fakta sejarah mendukung pernyataannya. Paku Buwono X, salah satu raja paling ikonik dalam sejarah Kasunanan, memang bukan putra sulung namun dipilih karena kualitas kepemimpinan, kecerdasan politik, dan restu adat.

Menurut Benowo, keputusan siapa yang menjadi raja adalah hak penuh almarhum PB XIII, dan keluarga tidak berhak mempertanyakan pilihannya.

Halaman Selanjutnya
img_title