Rp1.000 Jadi Rp1? Ini Jadwal & Persiapan yang Diminta Ekonom

Rp1.000 Jadi Rp1? Ini Jadwal & Persiapan yang Diminta Ekonom
Sumber :
  • Telkomsel

Gadget – Wacana redenominasi rupiah pemangkasan nominal mata uang tanpa mengurangi nilainya kini bukan lagi sekadar isapan jempol. Setelah bertahun-tahun mengambang, rencana ini resmi masuk ke dalam Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2025–2029 melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025 yang diteken pada 10 Oktober 2025.

Dalam dokumen tersebut, pemerintah menargetkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi) rampung pada 2027. Artinya, Indonesia mungkin akan menjadi negara berikutnya setelah Zimbabwe, Turki, dan Ghana yang menjalankan redenominasi dalam skala nasional.

Namun, langkah besar ini tidak bisa dilakukan secara gegabah. Josua Pardede, Chief Economist Permata Bank, menekankan perlunya jadwal transisi bertahap yang melibatkan pemerintah, Bank Indonesia (BI), otoritas keuangan, pelaku usaha, hingga masyarakat luas.

Apa Itu Redenominasi Rupiah? Bukan Pemotongan Nilai!

Pertama-tama, penting dipahami: redenominasi bukan devaluasi. Nilai uang tidak berkurang hanya angka di baliknya yang dipangkas.

Misalnya:

  • Rp1.000 menjadi Rp1
  • Rp100.000 menjadi Rp100

Nilai tukarnya tetap sama. Anda tetap bisa membeli secangkir kopi dengan “Rp1”, bukan berarti harganya turun menjadi seribu kali lipat lebih murah. Ini murni penyederhanaan nominal, mirip seperti yang dilakukan Turki pada 2005 ketika menghapus enam nol dari lira-nya.

Namun, risiko salah paham sangat tinggi. Banyak masyarakat awam bisa mengira ini adalah “potong nilai uang” atau “uang lama tidak berlaku”. Karena itu, sosialisasi masif dan edukasi berjenjang menjadi kunci utama keberhasilan.

“Agar tidak terjadi salah paham antara redenominasi dan pemotongan nilai,” tegas Josua. 

Mengapa Sekarang? Alasan Strategis di Balik RUU Redenominasi 2027

Rencana redenominasi rupiah sebenarnya sudah muncul sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, baru pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dan kini dipercepat di bawah Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa rencana ini masuk ke jalur eksekusi nyata.

Alasan utamanya:

  • Efisiensi sistem pembayaran – penggunaan nol berlebihan memperlambat transaksi digital dan akuntansi.
  • Peningkatan kepercayaan internasional – mata uang dengan nominal terlalu besar sering dianggap tidak stabil.
  • Kemudahan dalam perhitungan ekonomi makro – inflasi, PDB, dan anggaran negara jadi lebih mudah dianalisis.