"Kalau Nggak Kuat Jalan, Mati!" Ancaman Halus Adik PB XIII soal Dualisme Raja Solo
- Wikimedia
“Terserah bapaknya yang dipilih itu. Aku ora isoh ngojok-ojokin. Kenapa yang dipilih itu,” ungkapnya dengan rendah hati.
Tak Hadiri Rapat Kerabat: Benowo Curigai Proses Penobatan Mangkubumi
Yang menarik, Benowo mengaku tidak menghadiri pertemuan kerabat keraton yang digelar atas inisiasi Maha Menteri KGPA Tedjowulan pertemuan yang justru menjadi panggung penobatan KGPH Mangkubumi sebagai PB XIV.
“Rapat apa ya ini… saya sudah mau berangkat, nggak jadi, mau berangkat, nggak jadi. Akhirnya saya nggak berangkat. Nah, ternyata benar. Tiba-tiba di situ menobatkan si Surya Soeharto atau Mangkubumi itu menjadi pengganti PB XIII,” ungkapnya.
Nada suaranya mengisyaratkan keraguan terhadap proses dan legitimasi pertemuan tersebut. Ia tampaknya merasa bahwa keputusan besar seperti penobatan raja seharusnya tidak diambil secara tergesa-gesa atau tanpa kehadiran semua pihak penting.
Lebih jauh, ia menolak berkomentar soal klaim Paku Buwono XIV Purbaya yang disebut “tidak sah” oleh pihak Tedjowulan.
“Monggo saja. Gusti Tedjowulan itu sebetulnya di sini sebagai pendamping Paku Buwono XIII. Lah kalau pendampingnya sudah meninggal, gimana? Kan mendampingi sopo?” tanyanya retoris.
Benowo menekankan bahwa peran Maha Menteri harus diperbarui jika ingin tetap berlaku di era baru.
“Kalau mau menjadi pendampingnya ini, kan harus diikrarkan lagi bahwa pendampingnya adalah Panembahan Agung Tedjowulan,” tutupnya.
Latar Belakang Konflik: Dua Pengukuhan, Satu Takhta Kosong
Konflik suksesi Keraton Solo bermula segera setelah wafatnya SISKS Paku Buwono XIII. Sesaat sebelum pemakaman, KGPH Purbaya, putra bungsu PB XIII, mengukuhkan diri sebagai raja baru dengan gelar Paku Buwono XIV. Pengukuhan itu didasarkan pada fakta bahwa ia telah resmi ditunjuk sebagai putra mahkota pada 2022 dengan gelar KGPAA Hamangkunagara Sudibya Rajaputra Narendra Mataram VI.
Namun, hanya sepekan kemudian, KGPH Mangkubumi, putra lain PB XIII, juga menggelar upacara serupa di hadapan sejumlah adik PB XIII dan mengklaim gelar yang sama: Paku Buwono XIV.
Dua klaim, satu takhta situasi langka yang mengancam keutuhan simbolik Keraton Surakarta, lembaga adat yang selama ini dihormati sebagai penjaga budaya Jawa.