AS Siagakan 10.000 Tentara di Karibia, Benarkah Bersiap Serang Venezuela?
- us
Ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan Venezuela kembali memanas. Washington dilaporkan telah menyiagakan sekitar 10.000 personel militernya di kawasan Laut Karibia. Langkah ini memunculkan spekulasi bahwa AS tengah mempersiapkan operasi besar terhadap Caracas, di tengah meningkatnya konflik diplomatik dan tuduhan perdagangan narkoba yang saling dilontarkan.
Menurut laporan dari berbagai media internasional, termasuk The New York Times, ribuan pasukan tersebut merupakan bagian dari Korps Marinir dan Angkatan Laut AS. Mereka ditempatkan di sejumlah kapal perang yang beroperasi di perairan Karibia, serta di pangkalan militer AS di Puerto Rico. Kehadiran militer dalam jumlah besar ini disebut-sebut sebagai bagian dari strategi keamanan regional yang diklaim Washington untuk “memerangi kejahatan transnasional”.
Namun, di balik alasan resmi tersebut, banyak pihak menilai bahwa AS sedang memperkuat tekanan terhadap pemerintahan Presiden Venezuela, Nicolás Maduro. Terlebih, hubungan antara kedua negara memang sudah lama tegang akibat sanksi ekonomi dan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia yang dialamatkan Washington kepada Caracas.
Dalam beberapa pekan terakhir, militer AS melancarkan sejumlah operasi di lepas pantai Venezuela. Kapal-kapal yang diduga membawa narkoba dihancurkan melalui serangan langsung. Washington berdalih bahwa operasi itu merupakan bagian dari “perang melawan narkoba” yang telah lama menjadi agenda keamanan nasional mereka.
Namun, pemerintah Venezuela memandang hal ini berbeda. Caracas menilai langkah militer AS bukan sekadar operasi pemberantasan narkoba, melainkan bentuk provokasi dan upaya intervensi terhadap kedaulatan negara mereka. Bahkan, Presiden Nicolás Maduro menuding pemerintahan Donald Trump tengah mencari alasan untuk menyerang Venezuela secara terbuka.
Pada Rabu (15/10/2025), The New York Times mengungkap laporan mengejutkan. Menurut surat kabar tersebut, pemerintahan Trump disebut telah diam-diam memberi izin kepada badan intelijen CIA untuk melakukan misi rahasia di Venezuela. Operasi itu mencakup serangan mematikan yang dilakukan di dalam wilayah Venezuela, meski tanpa konfirmasi resmi dari pihak Gedung Putih.
Ketegangan semakin meningkat setelah Presiden Trump secara terbuka menyatakan bahwa pihaknya tidak menutup kemungkinan melakukan serangan militer ke wilayah Venezuela. Ia berdalih bahwa langkah itu diperlukan untuk menekan jaringan narkotika internasional. “Perairan lepas pantai Venezuela kini telah terkendali dengan baik,” ujar Trump dengan nada tegas.
Pernyataan itu segera mendapat kecaman keras dari Caracas. Pemerintah Venezuela menilai ucapan Trump merupakan ancaman nyata terhadap hukum internasional dan pelanggaran serius terhadap kedaulatan negara mereka. Menurut pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri Venezuela, langkah AS tersebut memperlihatkan pola agresi yang serupa dengan intervensi militer di negara-negara lain sebelumnya.
Bersamaan dengan itu, laporan intelijen Venezuela mengklaim telah mendeteksi lima jet tempur siluman F-35 milik AS yang melintas di atas wilayah udara mereka. Caracas menuduh penerbangan tersebut dilakukan dengan sengaja sebagai bentuk provokasi. Militer Venezuela bahkan sempat menyiagakan sistem pertahanan udaranya untuk mengantisipasi potensi serangan mendadak.
Tidak berhenti di situ, pada Agustus lalu, militer AS mengerahkan sejumlah besar armada tempur ke kawasan tersebut. Armada itu terdiri dari tiga kapal destroyer, satu kapal selam nuklir, satu kapal serbu amfibi, serta hampir 4.500 marinir. Washington kembali menegaskan bahwa pengiriman pasukan itu bertujuan untuk menumpas sindikat narkoba yang disebut beroperasi dari wilayah Venezuela dan negara-negara sekitarnya.
Namun, pemerintah Venezuela bersikukuh menolak semua tuduhan itu. Presiden Nicolás Maduro menyebut bahwa AS menggunakan isu narkoba sebagai alasan untuk melakukan serangan politik dan militer. “Mereka menciptakan narasi palsu untuk menjustifikasi agresi terhadap bangsa kami,” ujar Maduro dalam pidato yang disiarkan televisi nasional.
Sebagai langkah antisipatif, Maduro mengerahkan sekitar 25.000 personel militer ke berbagai titik strategis di darat dan laut. Pasukan tersebut disiagakan untuk menjaga perbatasan dan menghadapi segala kemungkinan di tengah meningkatnya tekanan dari AS. Venezuela juga meningkatkan patroli udara dan maritim guna memastikan keamanan wilayahnya tetap terjaga.
Para pengamat politik menilai langkah AS ini sebagai bagian dari strategi tekanan global terhadap negara-negara yang menentang kebijakan Washington. Venezuela, yang selama ini menjadi sekutu Rusia, Tiongkok, dan Iran, dianggap sebagai batu sandungan bagi pengaruh AS di Amerika Latin. Dengan menempatkan kekuatan militer di Karibia, AS tampaknya ingin mengirim pesan keras bahwa mereka siap mengambil tindakan apa pun untuk menekan rezim Maduro.
Sementara itu, dari sisi diplomatik, sejumlah negara di Amerika Selatan menyerukan agar kedua pihak menahan diri. Pemerintah Kuba, Nikaragua, dan Bolivia secara terbuka menyatakan dukungan kepada Venezuela dan mengecam tindakan militer AS. Sebaliknya, Kolombia dan Brasil mendukung langkah Washington dengan alasan keamanan regional.
Situasi di Laut Karibia kini menjadi perhatian dunia internasional. Banyak pihak khawatir bahwa ketegangan antara AS dan Venezuela bisa memicu konflik berskala besar yang berpotensi mengguncang stabilitas kawasan. Meski AS mengklaim misinya hanya untuk memberantas narkoba, pergerakan militer yang masif di dekat perairan Venezuela menimbulkan pertanyaan besar: apakah Washington benar-benar sedang berperang melawan kartel narkoba, atau justru mempersiapkan babak baru dalam intervensi politik Amerika Latin?
Dengan situasi yang kian panas dan diplomasi yang tampak buntu, dunia kini menanti langkah berikutnya dari kedua negara. Apakah ketegangan ini akan mereda melalui jalur diplomasi, atau justru berkembang menjadi konflik terbuka yang bisa mengubah peta geopolitik kawasan Karibia dan Amerika Selatan? Jawabannya masih menggantung di antara gelombang panas Laut Karibia.