Australia hingga Jepang Hadir! Konferensi Pro-Palestina di DPR RI Bikin Heboh Dunia
- live ilo
Gadget – Jakarta menjadi pusat perhatian dunia pada awal November 2025. Bukan karena pertemuan ekonomi atau forum keamanan, melainkan karena Konferensi Asia Pasifik untuk Palestina yang akan digelar di Gedung DPR RI, Senayan, pada 7–8 November 2025. Yang mengejutkan? 19 negara dari kawasan Asia Pasifik telah mengonfirmasi kehadiran, termasuk negara-negara dengan mayoritas non-Muslim seperti Australia, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, Filipina, Singapura, dan Sri Lanka.
Ini bukan sekadar pertemuan simbolis. Konferensi ini menjadi bukti nyata bahwa dukungan terhadap Palestina telah melampaui batas agama dan geopolitik, bertransformasi menjadi gerakan kemanusiaan global yang kuat dan terorganisir.
Diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) bekerja sama dengan Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI dan Global Coalition for Al-Quds and Palestine (GCAP), acara ini mengusung tema “Penguatan Aliansi untuk Bela Palestina”—sebuah seruan untuk memperluas jaringan solidaritas lintas negara, agama, dan ideologi.
Artikel ini mengupas tuntas latar belakang konferensi, daftar negara peserta, makna kehadiran negara non-Muslim, serta dampak geopolitiknya bagi perjuangan kemerdekaan Palestina.
Latar Belakang: Kelanjutan Gerakan Global dari Istanbul ke Jakarta
Konferensi di Jakarta bukanlah inisiatif yang muncul tiba-tiba. Ia merupakan kelanjutan langsung dari pertemuan Global Coalition for Al-Quds and Palestine (GCAP) yang digelar di Istanbul, Turki, pada 30–31 September 2025.
Pertemuan di Istanbul—yang dihadiri oleh tokoh agama, akademisi, dan perwakilan parlemen dari lebih dari 50 negara—telah menghasilkan komitmen bersama untuk memperkuat diplomasi pro-Palestina di tingkat regional. Jakarta dipilih sebagai tuan rumah konferensi regional Asia Pasifik karena peran historis Indonesia sebagai suara lantang dunia Muslim dan negara non-blok yang konsisten mendukung Palestina sejak era kemerdekaan.
“Indonesia itu blok Palestina, bukan blok Israel,” tegas Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW), menggarisbawahi posisi politik luar negeri Indonesia yang tak pernah goyah.
Daftar 19 Negara Peserta: Lebih dari Sekadar Negara Muslim
Dari 32 undangan yang disebar ke berbagai negara di kawasan Asia Pasifik, 19 negara telah mengonfirmasi kehadiran. Menurut Bunyan Saptomo, Ketua Komisi Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional (HLNKI) MUI, respons ini melampaui ekspektasi awal.
Negara Peserta yang Telah Dikonfirmasi:
Negara Berpenduduk Mayoritas Muslim:
- Malaysia
- Maladewa
Negara Berpenduduk Mayoritas Non-Muslim:
- Australia
- Selandia Baru
- Jepang
- Korea Selatan
- Filipina
- Singapura
- Sri Lanka
(Catatan: Daftar lengkap 19 negara belum dirilis publik secara rinci, tetapi 9 negara di atas telah disebutkan secara eksplisit oleh MUI.)
Keikutsertaan Sri Lanka—di mana komunitas Muslim sering mengalami diskriminasi—menjadi simbol kuat bahwa perjuangan untuk Palestina adalah perjuangan universal melawan ketidakadilan.
“Sri Lanka yang minoritas muslimnya sering ditindas masih semangat berjuang untuk Palestina. Jadi ini benar-benar semangat perjuangan,” ujar Bunyan dalam konferensi pers di Gedung MUI Pusat, Jakarta, Kamis (30/10/2025).
Mengapa Negara Non-Muslim Ikut Mendukung Palestina?
Kehadiran Australia, Jepang, dan Selandia Baru menunjukkan pergeseran penting dalam narasi global tentang Palestina. Isu ini tidak lagi dipandang semata-mata sebagai konflik Timur Tengah atau persoalan agama, melainkan sebagai uji tuntas bagi prinsip HAM, hukum internasional, dan keadilan global.
Beberapa faktor yang mendorong negara non-Muslim berpartisipasi:
- Tekanan Publik Domestik: Gerakan solidaritas pro-Palestina tumbuh pesat di kalangan masyarakat sipil Australia, Jepang, dan Korea Selatan.
- Prinsip Kebijakan Luar Negeri: Negara seperti Selandia Baru dikenal konsisten mendukung resolusi PBB dan hukum internasional.
- Keseimbangan Geopolitik: Partisipasi mereka juga bisa dibaca sebagai upaya menjaga keseimbangan dalam hubungan dengan dunia Muslim, terutama di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik Selatan.
Bagi Indonesia, kehadiran mereka adalah kemenangan diplomasi lunak—bukti bahwa narasi kemanusiaan bisa menyatukan bangsa-bangsa yang berbeda latar belakang.
Konferensi Mandiri: Tanpa Dana Asing, Tapi Penuh Komitmen
Salah satu aspek paling mencolok dari konferensi ini adalah prinsip kemandirian. Bunyan menegaskan bahwa semua delegasi datang dengan biaya sendiri.
“Kita mengundang negara-negara Asia Pasifik dengan biaya sendiri. Dalam surat undangan sudah kita sampaikan bahwa kita tidak menanggung tiket maupun hotel,” ujarnya.
Fakta bahwa 19 negara tetap hadir meski harus menanggung sendiri biaya perjalanan dan akomodasi menjadi bukti kuat komitmen moral dan politik mereka terhadap isu Palestina. Ini bukan sekadar formalitas diplomatik—melainkan aksi nyata solidaritas.
Tujuan Strategis Konferensi: Membangun Jaringan Diplomasi Pro-Palestina
Konferensi ini memiliki tiga tujuan utama:
- Memperkuat jejaring diplomasi parlemen dan masyarakat sipil di kawasan Asia Pasifik untuk mendukung Palestina.
- Mendorong pengakuan kedaulatan Palestina melalui resolusi nasional dan regional.
- Menggalang dukungan untuk misi perdamaian dan bantuan kemanusiaan, termasuk usulan melibatkan santri Indonesia dalam misi perdamaian (seperti diusulkan Ketua Pergunu).
- Bunyan berharap konferensi ini menjadi catalyst bagi aksi kolektif yang lebih konkret—mulai dari kampanye boikot produk ilegal Israel hingga advokasi di forum PBB.
“Kita ingin menunjukkan bahwa suara untuk Palestina tidak akan pernah padam, bahkan semakin kuat dari kawasan Asia Pasifik,” tegasnya.
Dampak Geopolitik: Apa Artinya bagi Israel dan Sekutunya?
Kehadiran negara-negara seperti Australia dan Jepang—yang secara tradisional menjaga hubungan dekat dengan Amerika Serikat dan Israel—bisa menjadi sinyal perubahan halus dalam kebijakan luar negeri mereka.
Meski tidak serta-merta berarti mereka akan mengubah posisi resmi, partisipasi dalam forum pro-Palestina menunjukkan keterbukaan terhadap narasi alternatif dan tekanan untuk memainkan peran lebih aktif dalam mencari solusi damai.
Bagi Israel, ini adalah peringatan bahwa isolasi diplomatik bisa meluas, bahkan ke sekutu-sekutu tradisionalnya di kawasan Pasifik.
Peran Indonesia: Dari Suara Moral ke Aksi Nyata
Sejak Konferensi Asia-Afrika 1955, Indonesia telah memposisikan diri sebagai pembela bangsa-bangsa terjajah. Dukungan terhadap Palestina adalah kelanjutan dari warisan tersebut.
Melalui konferensi ini, Indonesia tidak hanya menjadi tuan rumah, tetapi juga arsitek aliansi regional yang bisa menjadi model bagi kawasan lain. Dengan memadukan kekuatan parlemen, ulama, dan masyarakat sipil, Indonesia menunjukkan bahwa diplomasi pro-Palestina bisa dilakukan secara holistik.
Kesimpulan: Solidaritas yang Melampaui Agama dan Batas
Konferensi Asia Pasifik untuk Palestina di DPR RI bukan sekadar acara seremonial. Ia adalah manifestasi nyata dari solidaritas global yang transformatif—di mana negara mayoritas Buddha, Kristen, Shinto, dan Sikh berdiri berdampingan dengan negara Muslim demi keadilan bagi rakyat Palestina.
Dengan 19 negara hadir, termasuk kekuatan ekonomi seperti Jepang dan Australia, pesan yang disampaikan jelas: perjuangan Palestina adalah perjuangan kemanusiaan universal.
Dan Jakarta, sekali lagi, membuktikan diri sebagai jantung diplomasi moral dunia.
| Dapatkan informasi terbaru seputar Gadget, Anime, Game, Tech dan Berita lainnya setiap hari melalui social media Gadget VIVA. Ikuti kami di : | |
|---|---|
| @gadgetvivacoid | |
| Gadget VIVA.co.id | |
| X (Twitter) | @gadgetvivacoid |
| Whatsapp Channel | Gadget VIVA |
| Google News | Gadget |