Genosida di Sudan? Dunia Dikejutkan Kekejaman RSF di el-Fasher

Darfur Kembali Berdarah
Sumber :
  • un

Kekerasan kembali mengguncang Sudan. Kali ini, dunia menyoroti tragedi memilukan di kota el-Fasher, ibu kota Darfur Utara, yang jatuh ke tangan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) setelah pengepungan selama 18 bulan. Ribuan warga sipil dilaporkan tewas, sementara puluhan ribu lainnya terpaksa melarikan diri demi menyelamatkan diri dari kekejaman yang terus terjadi.

Perang Gaza Tinggalkan Luka Batin, Puluhan Ribu Tentara Israel Butuh Terapi

El-Fasher, yang selama ini menjadi benteng terakhir militer Sudan atau SAF (Sudanese Armed Forces) di kawasan barat, resmi direbut oleh RSF pada Minggu lalu. Sejak saat itu, laporan demi laporan tentang pembunuhan massal, penjarahan, dan penyiksaan mulai bermunculan. Menurut data Jaringan Dokter Sudan, sedikitnya 1.500 orang telah terbunuh, sementara SAF menyebut jumlah korban bisa mencapai 2.000 jiwa hanya dalam beberapa hari pertama.

Pengepungan Panjang yang Berujung Maut

Venezuela Dapat Dukungan Iran, Konflik dengan AS Bisa Meledak

Selama satu setengah tahun, sekitar 1,2 juta penduduk el-Fasher hidup di bawah tekanan. Mereka terkepung tanpa akses makanan dan obat-obatan. RSF bahkan membangun barikade sepanjang 56 kilometer untuk memutus jalur logistik dan mencegah warga melarikan diri. Banyak warga akhirnya bertahan hidup hanya dengan memakan pakan ternak.

Video yang tersebar di media sosial dan diverifikasi lembaga Sanad Al Jazeera memperlihatkan anggota RSF mengeksekusi warga sipil tanpa perlawanan. Rekaman itu menjadi bukti nyata kekejaman yang dilakukan pasukan paramiliter tersebut, sebagaimana telah mereka lakukan di berbagai wilayah sebelumnya.

Hubungan AS-Venezuela Memanas, Trump Ambil Langkah Ekstrem

Selain pembunuhan, RSF juga dituduh menyerang rumah sakit dan menahan warga sipil. Kantor HAM PBB menyebut tindakan RSF menunjukkan adanya motif etnis, yang menandakan pola kekerasan sistematis terhadap kelompok tertentu.

Bukti Pembantaian dari Citra Satelit

Laporan dari Laboratorium Penelitian Kemanusiaan Yale (HRL) memperkuat dugaan pembunuhan massal. Analisis satelit menunjukkan perubahan warna tanah dan pola gundukan yang diyakini sebagai lokasi kuburan massal. Temuan tersebut tidak terlihat dalam citra sebelum invasi RSF, menandakan adanya aktivitas baru yang mengarah pada kekejaman massal.

Sementara itu, PBB melaporkan bahwa lebih dari 26.000 warga telah meninggalkan el-Fasher dalam dua hari pertama setelah kota jatuh. Sebagian besar berjalan kaki menuju Tawila, sekitar 70 kilometer ke barat. Namun, sekitar 177.000 orang masih terjebak di dalam kota tanpa jaminan keselamatan.

Wilayah Strategis yang Jadi Rebutan

El-Fasher dan el-Obeid, dua kota besar di barat Sudan, kini menjadi titik krusial dalam perang berkepanjangan antara SAF dan RSF. Dengan jatuhnya el-Fasher, Darfur kini sepenuhnya dikuasai RSF, sementara SAF masih bertahan di wilayah timur dan utara.

RSF juga terus bergerak ke arah timur, mencoba merebut el-Obeid ibu kota Kordofan Utara, wilayah kaya minyak yang menjadi jalur penting antara Darfur dan ibu kota Khartoum. Jika el-Obeid jatuh, maka posisi SAF akan semakin terjepit.

Kedua Pihak Saling Menyalahkan

Setelah kehilangan el-Fasher, Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, pemimpin SAF, mengaku menarik pasukannya untuk menyelamatkan warga sipil dari “penghancuran sistemik” yang dilakukan RSF. Namun, ia berjanji akan membalas kekejaman tersebut.

Sebaliknya, pemimpin RSF Mohammed Hamdan “Hemedti” Dagalo berdalih bahwa kelompoknya hanya ingin menyatukan Sudan di bawah “demokrasi sejati”. Ia juga menegaskan akan menghukum anggotanya yang terbukti melakukan pelanggaran, meski hingga kini belum ada tindakan nyata.

Asal-Usul dan Perang yang Tak Kunjung Usai

RSF bukan kelompok baru di Sudan. Mereka merupakan evolusi dari milisi Janjaweed, yang terkenal brutal pada perang Darfur tahun 2003 di bawah rezim Omar al-Bashir. Saat itu, Janjaweed dituduh melakukan genosida terhadap suku-suku non-Arab, dengan korban mencapai 300.000 jiwa.

Setelah dilegalkan pada 2013 dan menjadi pasukan resmi, RSF sempat bersekutu dengan SAF dalam menggulingkan al-Bashir pada 2019. Namun, hubungan mereka memburuk hingga akhirnya pecah perang pada 15 April 2023. Perselisihan utama terjadi soal integrasi RSF ke dalam struktur militer nasional dan siapa yang berhak memimpin negara.

Sejak itu, konflik telah menewaskan lebih dari 40.000 orang dan memaksa 12 juta warga Sudan mengungsi, menjadikannya salah satu krisis kemanusiaan terbesar di dunia.

Dunia Desak Gencatan Senjata

Upaya damai sebenarnya sudah berkali-kali dilakukan. Arab Saudi, Amerika Serikat, dan Uni Afrika pernah memfasilitasi perundingan, namun semuanya gagal. Baru-baru ini, koalisi negara-negara yang disebut “Quad” terdiri dari AS, Arab Saudi, Mesir, dan Uni Emirat Arab mengusulkan gencatan senjata tiga bulan untuk membuka akses bantuan kemanusiaan.

Meski awalnya menolak, al-Burhan akhirnya tampak lebih terbuka setelah bertemu Presiden Mesir Abdel-Fattah el-Sisi. Sayangnya, sebelum pembicaraan lebih lanjut berlangsung, el-Fasher sudah jatuh ke tangan RSF, memperburuk situasi yang sudah genting.

Krisis Kemanusiaan yang Makin Dalam

Bagi warga Sudan, perang ini bukan sekadar perebutan kekuasaan, melainkan perjuangan untuk bertahan hidup. Laporan dari Al Jazeera menyebut RSF melakukan eksekusi berdasarkan etnis dan kekerasan seksual terhadap perempuan. Bahkan, sekitar 500 orang dilaporkan tewas di Rumah Sakit Saudi, tempat warga berlindung dari serangan.

Kini, dengan kendali penuh RSF atas Darfur wilayah kaya emas dan berbatasan langsung dengan Chad, Libya, dan Sudan Selatan — konflik diperkirakan akan terus berlanjut. Para analis memperingatkan, tanpa intervensi nyata dari dunia internasional, pembantaian seperti di el-Fasher bisa terulang di kota lain.