Hector Souto Tanggapi Sindiran Fans ke Kluivert: Ayah Saya Pasti Bangga
- tvonenews.com
 
Ringkasan Berita:
Souto merespons sindiran suporter yang membentangkan tifo soal Kluivert, menekankan olahraga sebagai budaya yang menuntut saling menghormati.
Kemenangan 3-1 atas Australia menjadi panggung konsolidasi Timnas Futsal Indonesia, di tengah memori publik pada kegagalan menuju Piala Dunia 2026.
Menjelang SEA Games, Souto merendah dengan menyebut tekanan bisa datang kapan saja, namun ia memilih fokus pada kerja tim dan target kompetitif.
Gadget – Kemenangan Timnas Futsal Indonesia atas Australia dengan skor 3-1 di uji coba internasional, Sabtu malam (1/11/2025) di Indonesia Arena GBK, berakhir dengan sorotan yang tak hanya berkutat pada taktik dan angka di papan skor. Menjelang bubaran, kelompok suporter La Grande membentangkan tifo yang berbunyi, “Jangan ganti Souto dengan Patrick Kluivert.” Pesan itu segera memantik pembicaraan, sebab publik membaca tifo tersebut sebagai sindiran kepada PSSI sekaligus perbandingan nasib pelatih.
Ditanya soal momen itu, Hector Souto memilih jalur sejuk. Ia menyebut olahraga adalah budaya yang hidup dari sportivitas, saling menghargai, dan kesadaran bahwa hasil bisa berbelok kapan saja. “Kita bisa kalah, kita bisa menang,” ujarnya, sembari menambahkan bahwa setiap orang—baik pelatih, pemain, maupun ofisial—berusaha sebaik mungkin untuk hasil terbaik. Sikap ini ia tunjukkan bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk Kluivert, yang pernah memimpin Timnas dan melalui tekanan serupa.
Nada kalem Souto mencerminkan upaya menahan euforia. Meski tim futsal tampil meyakinkan, ia mengingatkan agar dukungan suporter tetap menjadi energi positif, bukan bahan memecah perhatian. Ia paham publik masih menyimpan memori soal kegagalan menuju Piala Dunia 2026 pada cabang sepak bola, yang melekat pada narasi pergantian pelatih. Namun ia memilih memandangnya sebagai pelajaran, bukan bahan olok-olok. “Pada momennya, Patrick sudah berusaha sebaik mungkin,” kata Souto, menolak terjebak pada dikotomi “yang lama” dan “yang baru”.
Di tengah obrolan serius, Souto menyelipkan gurauan yang mengundang senyum: disandingkan dengan sosok sekelas Kluivert membuat keluarganya bangga. “Ayah saya akan senang melihatnya,” ujarnya. Sentuhan ringan itu menutup pernyataan yang pada intinya mengajak publik menjaga ruang hormat—kepada pelatih lama, pelatih sekarang, dan siapa pun yang bekerja untuk Timnas.
Konteks: dinamika pelatih Timnas dan fokus menuju SEA Games
Mengapa tifo itu menggema? Jawabannya terkait lanskap yang lebih luas. Publik Indonesia masih akrab dengan figur-figur pelatih dan tiap perubahan di kursi panas, apalagi ketika hasil besar seperti tiket Piala Dunia luput diraih. Ingatan kolektif itu menetes ke semua cabang, termasuk futsal. Maka pesan “jangan ganti Souto” terbaca sebagai antisipasi: suporter ingin stabilitas, terutama saat performa menunjukkan arah positif.
Dalam bingkai yang sama, Souto justru mengingatkan bahwa karier pelatih selalu dekat dengan ketidakpastian. Ia menyebut kemungkinan skenario terburuk—misalnya performa menurun di SEA Games—dan menyadari bahwa evaluasi bisa datang cepat. “Itu bisa saja terjadi pada saya,” ucapnya jujur. Bukan pesimisme, melainkan bentuk kedewasaan seorang pelatih yang mengerti ritme kompetisi. Kalimat itu menegaskan fokus tunggalnya: merajut progres konkret ketimbang terpancing narasi di luar lapangan.
Kemenangan atas Australia memberi beberapa catatan penting untuk Timnas Futsal. Pertama, struktur pertahanan lebih kompak, dengan transisi yang lebih rapi ketika kehilangan bola. Kedua, efektivitas serangan meningkat—konversi peluang lebih klinis, yang terlihat dari penempatan posisi ala set play dan variasi tembakan jarak menengah. Ketiga, kedalaman skuad mulai seimbang, memungkinkan rotasi yang tidak menurunkan intensitas. Hal-hal teknis ini lebih berarti dari sorak-sorai sesaat, sebab menjadi dasar kompetitif saat memasuki turnamen seperti SEA Games dan ajang resmi AFC.
Di level komunikasi, Souto menyadari pentingnya merawat hubungan dengan suporter. La Grande, juga basis pendukung lain, bukan sekadar penonton; mereka bagian dari identitas tim. Namun, identitas yang kuat tidak lahir dari kultus individu, melainkan dari nilai kerja bareng: disiplin, konsistensi, dan komitmen pada target. Karena itu, ajakan menghormati semua pihak—termasuk Kluivert—adalah upaya meredakan polarisasi yang tak produktif.
Dalam konteks federasi, PSSI juga diharapkan membaca sinyal dari tribun sebagai dorongan menjaga kesinambungan program. Stabilitas menjadi modal agar metodologi latihan, pengembangan pemain, dan integrasi pola main tidak putus di tengah jalan. Pada akhirnya, kualitas kompetitif tak dibentuk oleh satu keputusan instan, melainkan rangkaian proses yang sabar dan terukur.
Kunci selanjutnya ada pada manajemen beban laga dan pematangan detail permainan. Timnas Futsal perlu menjaga ritme uji coba dengan lawan-lawan yang menantang, demi mempertajam skema power play, pengambilan keputusan di detik-detik akhir, serta respons saat unggul atau tertinggal. Di sinilah staf kepelatihan Souto mesti lihai: memelihara kebugaran, mengolah variasi set-piece, dan memastikan pemain paham prioritas di tiap fase pertandingan.
Publik boleh berharap, tapi harapan itu sebaiknya diarahkan menjadi dukungan yang konkret. Energi tribun di Indonesia Arena menunjukkan bahwa antusiasme tidak pernah padam. Agar antusiasme menjadi nilai tambah, fokusnya adalah kesinambungan: dari latihan ke pertandingan, dari pertandingan ke turnamen. Bila konsistensi terjaga, isu di luar lapangan—termasuk perbandingan dengan Kluivert—akan meredup dengan sendirinya, digantikan oleh kepercayaan diri yang lahir dari permainan yang stabil.
Souto paham betul, keberhasilan bukan sekadar angka kemenangan, melainkan kemampuan menjaga tim tetap tenang saat sorotan memanas. Karena itu, ia menempatkan humor soal “ayahnya bangga” bukan untuk menyepelekan isu, melainkan membingkai ulang percakapan. Pesan yang ingin ia tekankan sederhana: hormat pada proses, hormat pada orang, hormat pada hasil apa pun yang datang. Di tengah dinamika yang kadang bising, kesederhanaan itulah yang membuat ruang tim tetap jernih.
Menjelang SEA Games, peta persaingan akan ketat. Negara-negara tetangga memperbaiki program, memperkaya skema, dan mengorbitkan talenta muda. Untuk menjawabnya, Timnas Futsal Indonesia butuh kejelasan jalur: jadwal uji coba yang terarah, evaluasi paska-laga yang jujur, serta keberanian mengeksekusi perubahan taktis ketika data pertandingan menuntut. Jika jalur ini dijaga, hasil kompetitif akan mengejar, dan pembicaraan soal kursi pelatih tidak lagi menjadi headline utama.
Pada akhirnya, publik yang cerdas akan melihat bahwa kemenangan 3-1 atas Australia hanyalah satu episode. Episode penting, namun tetap bagian dari musim yang panjang. Souto telah menegaskan pijakan: bekerja tanpa gaduh, merawat hubungan dengan suporter, dan menjaga rasa hormat, termasuk untuk Kluivert. Dari situ, kepercayaan dibangun, bukan lewat tifo, melainkan lewat permainan yang konsisten dan hasil yang bisa dipertanggungjawabkan.
Dan bila suatu hari ia benar disandingkan lagi dengan nama besar lain, Souto sepertinya sudah siap menjawab dengan cara yang sama. Ia akan tersenyum, mengingat ayah dan keluarganya yang bangga, lalu kembali ke lapangan—tempat semua narasi akhirnya diuji oleh bola yang bergulir.
| Dapatkan informasi terbaru seputar Gadget, Anime, Game, Tech dan Berita lainnya setiap hari melalui social media Gadget VIVA. Ikuti kami di : | |
|---|---|
| @gadgetvivacoid | |
| Gadget VIVA.co.id | |
| X (Twitter) | @gadgetvivacoid | 
| Whatsapp Channel | Gadget VIVA | 
| Google News | Gadget |