Sindir Pedas, Eks PSM Sebut Indonesia Negara Miskin: Main di Timnas Bikin Klub Rugi!
- ig/@timnasindonesia
Ringkasan Berita:
Anco Jansen menilai keputusan Mees Hilgers membela Timnas Indonesia membuat klub Belanda kehilangan pemain penting.
Ia menyebut sepak bola Indonesia tertinggal dalam infrastruktur, pelatih, dan fasilitas dibanding Eropa.
Jansen juga menyinggung bahwa meski Indonesia negara miskin, masyarakatnya sangat aktif di media sosial.
Gadget – Timnas Indonesia belakangan menjadi sorotan publik Eropa setelah kehadiran sejumlah pemain keturunan asal Belanda seperti Jay Idzes, Mees Hilgers, Calvin Verdonk, hingga Ole Romeny. Program naturalisasi yang digalakkan PSSI terbukti memberi dampak signifikan terhadap performa Garuda di kancah internasional.
Namun, tak semua pihak memandang fenomena ini secara positif. Salah satunya datang dari mantan penyerang PSM Makassar asal Belanda, Anco Jansen. Dalam wawancara bersama kanal YouTube RRTV Oost, Jansen menyinggung keputusan Mees Hilgers memperkuat Timnas Indonesia sebagai penyebab turunnya performa dan nilai pasar sang pemain di FC Twente.
Menurutnya, klub Eropa tidak senang jika pemain mereka sering dipanggil ke tim nasional di Asia Tenggara karena mengganggu ritme latihan dan kompetisi. “Dia bermain untuk tim nasional Indonesia. Klub-klub tidak senang dengan itu karena mereka akan kehilangan pemainnya saat harus pergi ke Kamboja, Laos, entah ke mana lagi,” ucap Jansen.
Jansen menambahkan bahwa situasi seperti ini membuat pemain lebih rawan cedera dan kehilangan menit bermain. “Dia punya nilai pasar tinggi, tapi sekarang sulit bagi klub lain untuk membayar sesuai harga itu,” ujarnya.
Infrastruktur dan Realitas Sepak Bola Indonesia
Selain menyoroti nasib Hilgers, Jansen juga mengungkapkan pandangannya mengenai dunia sepak bola Indonesia yang menurutnya masih jauh dari standar profesional di Eropa. Ia mengaku kaget saat pertama kali datang ke lapangan latihan PSM Makassar karena tidak menemukan fasilitas layaknya ruang ganti yang memadai.
“Sepak bola di sana benar-benar oportunistis, dan peluangnya kecil. Fasilitas, akademi muda, dan pelatih masih sangat terbatas,” tutur Jansen. Ia menyebut pengalaman itu sebagai “culture shock”, meskipun dirinya tetap menghargai semangat dan loyalitas tinggi suporter Indonesia.
Menurutnya, atmosfer pertandingan di Indonesia sangat berbeda dengan di Eropa. Ia bahkan mengaku sulit melupakan pengalaman tampil di hadapan ribuan penonton yang fanatik dan emosional di stadion.
Sindiran Soal Kondisi Ekonomi dan Media Sosial
Dalam wawancara yang sama, Anco Jansen juga menyinggung kondisi ekonomi Indonesia. Ia secara terbuka menyebut Indonesia sebagai negara miskin, namun dengan ironi yang menarik: hampir semua orang memiliki ponsel pintar dan aktif di media sosial.
“Negaranya memang miskin, tapi semua orang punya smartphone. Instagram di sana besar sekali,” kata Jansen dengan nada bercanda. Ia menuturkan bahwa media sosial memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan pemain di Indonesia, terutama setelah pertandingan.
Menurut Jansen, tekanan dari netizen bisa sangat berat. “Kalau kamu gagal mencetak gol, lebih baik jangan buka HP dua hari ke depan. Kalau tidak, tiket pulang ke Belanda sudah siap,” ujarnya sambil tertawa.
Ia mengaku pernah merasakan sendiri situasi itu ketika gagal memanfaatkan peluang emas. “Saya juga pernah gagal mencetak gol, dan orang-orang langsung bercanda seolah tiket saya sudah dipesan,” tambahnya.
Antara Kritik dan Kekaguman
Meski kata-katanya terkesan keras, Jansen tetap menunjukkan rasa hormat terhadap semangat sepak bola Indonesia. Ia mengakui bahwa fanatisme dan emosi besar suporter adalah hal yang unik dan tidak ditemukan di Eropa.
“Di Indonesia, sepak bola bukan sekadar olahraga, tapi bagian dari hidup mereka. Semua orang ikut merasakan setiap kemenangan dan kekalahan,” tuturnya.
Bagi sebagian pihak, komentar Jansen dianggap sebagai sindiran, namun bagi yang lain, ucapannya adalah cerminan realitas bahwa sepak bola Indonesia masih perlu berbenah, terutama dalam hal infrastruktur, manajemen klub, dan pembinaan pemain muda.
Program naturalisasi yang dijalankan PSSI sejauh ini terbukti meningkatkan kualitas skuad Garuda. Namun, pandangan seperti yang diungkapkan Anco Jansen bisa menjadi refleksi penting agar Indonesia tak hanya kuat karena pemain keturunan, tapi juga karena fondasi sepak bolanya sendiri sudah kokoh dan profesional.
| Dapatkan informasi terbaru seputar Gadget, Anime, Game, Tech dan Berita lainnya setiap hari melalui social media Gadget VIVA. Ikuti kami di : | |
|---|---|
| @gadgetvivacoid | |
| Gadget VIVA.co.id | |
| X (Twitter) | @gadgetvivacoid |
| Whatsapp Channel | Gadget VIVA |
| Google News | Gadget |