Tarif, Senjata, dan Travel Ban: Kontroversi Kebijakan Trump yang Mengguncang Hubungan Indonesia-AS
- lifeworks
Sejak kembali menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat pada Januari 2025, Donald Trump kembali meluncurkan berbagai kebijakan yang tidak hanya memicu perdebatan di dalam negeri, tetapi juga berdampak langsung pada sejumlah negara mitra, termasuk Indonesia. Di tengah semangat "America First" yang kembali digaungkan, hubungan dagang dan diplomatik antara Jakarta dan Washington pun ikut goyah. Berikut rangkuman lima isu kontroversial yang menyoroti bagaimana kebijakan Trump memengaruhi Indonesia.
1. Tarif Tinggi: Dagang atau Tekanan Politik?
Salah satu kebijakan paling mencolok datang dari ancaman Trump untuk mengenakan tarif tinggi hingga 32% terhadap ekspor Indonesia. Meski akhirnya, lewat negosiasi alot yang berlangsung selama beberapa bulan, kedua negara sepakat pada tarif tetap sebesar 19%. Sebagai imbalannya, Indonesia menyetujui pembelian 50 unit pesawat Boeing, produk energi senilai US$15 miliar, dan komoditas pertanian AS sebesar US$4,5 miliar.
Namun, kesepakatan ini bukan tanpa kritik. Banyak pelaku usaha dalam negeri menilai tarif tersebut akan menekan daya saing produk ekspor seperti tekstil, elektronik, dan kelapa sawit. Di sisi lain, konsumen AS juga diprediksi harus membayar lebih mahal untuk barang-barang yang sebelumnya terjangkau dari Indonesia.
2. Tekanan dalam Pembelian Alutsista
Kebijakan luar negeri Trump juga terasa dalam sektor pertahanan. Untuk mencegah Indonesia membeli jet tempur Sukhoi Su-35 dari Rusia dan kapal perang dari Tiongkok, pemerintah AS menggunakan Undang-Undang CAATSA sebagai senjata diplomatik. Tekanan tersebut akhirnya membuat Indonesia mundur dari rencana pembelian tersebut, demi menghindari risiko sanksi ekonomi dari Washington.
Situasi ini menimbulkan kekhawatiran tentang kedaulatan pertahanan Indonesia. Banyak pengamat menilai, langkah tersebut menunjukkan betapa kuatnya pengaruh Amerika dalam menentukan arah kebijakan strategis Indonesia.
3. Pemotongan Dana Bantuan Luar Negeri
Di bidang sosial dan pembangunan, Trump kembali mengimplementasikan pemotongan anggaran bantuan luar negeri, termasuk yang disalurkan melalui USAID ke Indonesia. Dana tersebut selama ini digunakan untuk program-program kesehatan seperti penanggulangan TBC dan penyakit tropis lainnya.
Pengurangan ini jelas berdampak. Beberapa program komunitas terpaksa dihentikan atau dialihkan ke pendanaan alternatif. Pemerintah Indonesia pun kini didorong untuk memperluas kerja sama dengan negara mitra non-AS.
4. Travel Ban: Ancaman Tidak Langsung
Kebijakan travel ban yang dikenakan Trump sejak masa jabatan pertamanya kembali menjadi sorotan. Meski Indonesia tidak termasuk dalam daftar 43 negara yang dibatasi dalam periode kedua ini, kebijakan tersebut tetap menimbulkan kekhawatiran. Banyak pihak menilai, langkah ini bisa memperburuk citra umat Muslim di mata dunia.
Wakil Presiden RI saat itu, Jusuf Kalla, bahkan secara terbuka menyebut kebijakan ini sebagai bentuk diskriminasi. Pemerintah Indonesia juga mencemaskan dampaknya terhadap hubungan diplomatik, terutama dalam kerja sama pendidikan dan pariwisata.
5. Tuduhan Trans-shipment
Terakhir, ada pula tudingan dari pemerintah AS bahwa Indonesia menjadi salah satu negara pelarian bagi barang-barang China yang ingin menghindari tarif ekspor ke AS. Praktik yang disebut trans-shipment ini membuat AS menuntut Indonesia meningkatkan pengawasan ekspor.
Jika tidak ditanggapi serius, AS mengancam akan menindak dengan regulasi baru yang bisa mempersulit produk asal Indonesia masuk ke pasar Amerika. Pemerintah Indonesia pun mulai memperkuat regulasi dan meningkatkan pengawasan bea cukai.
Dampak Menyeluruh bagi Indonesia
Serangkaian kebijakan kontroversial tersebut jelas tidak hanya berdampak pada sektor ekonomi, tetapi juga menimbulkan tekanan dalam politik luar negeri dan pertahanan.
Sektor ekspor kini dipaksa mencari pasar baru. Pemerintah Indonesia mulai mengalihkan fokus ke kawasan Asia, Timur Tengah, hingga Afrika. Di saat yang sama, kerja sama multilateral melalui forum BRICS dan ASEAN menjadi lebih aktif daripada sebelumnya.
Kebijakan dalam negeri juga ikut berbenah. Regulasi dagang ditinjau ulang, sistem pengawasan bea masuk diperkuat, dan diplomasi ekonomi dijalankan lebih agresif.
Amerika First, Indonesia Harus Lincah
Kebijakan "America First" Donald Trump, dari tarif ekspor, tekanan senjata, hingga larangan perjalanan, menunjukkan bahwa negara-negara berkembang seperti Indonesia perlu punya strategi yang lebih tangguh dalam menghadapi manuver negara besar. Bukan hanya soal berdiplomasi, tapi juga kemampuan untuk adaptif dan cepat dalam mengambil keputusan.
Kini, langkah Indonesia untuk memperkuat hubungan dengan berbagai negara dan memperluas pasar ekspor menjadi semakin relevan. Sebab di tengah dinamika global yang tak menentu, ketahanan ekonomi dan diplomasi menjadi kunci agar tidak tergilas kepentingan raksasa dunia.