Israel Langgar Gencatan Senjata 194 Kali, Gaza Kembali Berduka
- palestine
 
Situasi di Jalur Gaza kembali memanas meski gencatan senjata telah disepakati sejak 10 Oktober lalu. Data terbaru dari Kantor Media Pemerintah Gaza mencatat bahwa tentara Israel telah melanggar kesepakatan tersebut sebanyak 194 kali. Pelanggaran yang terjadi mencakup serangan udara, penembakan terhadap warga sipil, hingga penghancuran bangunan yang seharusnya dilindungi selama masa damai.
Direktur Kantor Media Pemerintah Gaza, Ismail Al Thawabteh, menyebut bahwa pelanggaran tersebut terjadi secara sistematis dan terus meningkat setiap pekannya. “Sejauh ini, pasukan penjajah telah melakukan 194 pelanggaran terhadap warga Palestina sejak perjanjian berlaku. Padahal, kesepakatan itu diharapkan membawa kelegaan bagi masyarakat Gaza,” ujarnya, dikutip dari Anadolu, Senin (3/11/2025).
Menurut Thawabteh, pasukan Israel kerap melintasi garis kuning, yaitu batas wilayah yang ditetapkan dalam perjanjian gencatan senjata. Garis ini membagi Jalur Gaza menjadi dua wilayah besar selatan Kota Gaza dan utara Khan Younis serta berfungsi sebagai zona non-militer. Namun, kenyataannya, kendaraan militer Israel masih terlihat aktif di kawasan tersebut, bahkan melakukan serangan udara dan pembongkaran rumah warga. Akibatnya, banyak korban sipil kembali berjatuhan.
Peringatan bagi Warga Gaza
Pemerintah Gaza mengimbau warganya untuk tidak mendekati garis kuning. Pasalnya, tentara Israel sering melepaskan tembakan tanpa peringatan. Kondisi ini menimbulkan ketakutan luas di kalangan warga yang sebelumnya berharap dapat kembali ke rumah mereka pasca-gencatan senjata.
Selain ancaman militer, krisis kemanusiaan juga semakin parah. Israel hingga kini belum mengizinkan masuknya konvoi bantuan secara penuh, termasuk obat-obatan, tenda, dan pasokan makanan. Pintu perbatasan Rafah yang menjadi jalur utama bantuan kemanusiaan dari Mesir masih ditutup rapat oleh militer Israel. Padahal, banyak pasien gawat darurat di Gaza yang membutuhkan evakuasi ke luar negeri untuk mendapatkan perawatan.
Thawabteh menegaskan bahwa Israel sengaja memperburuk keadaan dengan menahan lebih dari 6.000 truk bantuan di perbatasan Rafah. “Dari 13.200 truk bantuan yang dijanjikan dalam kesepakatan, hanya 3.203 yang berhasil masuk hingga akhir Oktober,” ungkapnya.
Pelanggaran Protokol Kemanusiaan
Dalam protokol gencatan senjata, terdapat ketentuan yang memperbolehkan masuknya alat berat untuk mengevakuasi jenazah dari reruntuhan bangunan yang hancur akibat perang. Selain itu, seharusnya lebih dari 300.000 tenda dan rumah mobil diizinkan masuk guna menampung keluarga-keluarga pengungsi. Namun, Israel hanya mengizinkan sebagian kecil peralatan, yang ironisnya lebih difokuskan untuk mencari jenazah sandera Israel, bukan korban warga Palestina.
Akibat keterlambatan dan pembatasan ini, sekitar 288.000 keluarga Palestina masih hidup di jalanan. Mereka terpaksa berlindung di reruntuhan bangunan, sekolah, maupun area publik tanpa fasilitas dasar seperti air bersih dan listrik. Kondisi cuaca yang mulai memburuk semakin memperparah penderitaan para pengungsi.
Ribuan Warga Hilang dan Infrastruktur Hancur
Kantor Media Gaza memperkirakan sekitar 9.500 warga Palestina masih hilang, baik tertimbun reruntuhan maupun belum diketahui keberadaannya. Upaya pencarian terkendala karena minimnya alat berat dan risiko tinggi akibat sisa bom yang belum meledak.
Selain korban manusia, kerusakan infrastruktur di Gaza mencapai tingkat yang mencengangkan. Data pemerintah setempat menunjukkan bahwa 90 persen infrastruktur sipil hancur, termasuk rumah sakit, sekolah, dan jaringan listrik. Kerugian material diperkirakan mencapai 70 miliar dolar AS. Angka ini belum termasuk kerugian ekonomi akibat lumpuhnya aktivitas perdagangan dan industri lokal.
Kecaman Internasional
Pelanggaran demi pelanggaran ini memicu reaksi keras dari berbagai pihak internasional. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan keprihatinan mendalam atas laporan yang menyebut lebih dari 100 warga Gaza tewas hanya dalam satu malam, meskipun gencatan senjata masih berlaku. PBB menilai tindakan Israel melanggar prinsip dasar kemanusiaan dan hukum internasional.
Meski tekanan diplomatik terus meningkat, Israel belum menunjukkan tanda-tanda menghentikan aksinya. Pemerintah Tel Aviv berdalih bahwa operasi militernya ditujukan untuk menindak kelompok bersenjata di Gaza. Namun, banyak pengamat menilai alasan tersebut tidak dapat membenarkan penyerangan terhadap warga sipil dan fasilitas umum.
Harapan Akan Perdamaian
Kendati situasi semakin suram, pemerintah Gaza tetap menyerukan pentingnya menegakkan kembali kesepakatan damai. Mereka berharap komunitas internasional dapat menekan Israel agar benar-benar mematuhi isi perjanjian gencatan senjata dan membuka akses bantuan tanpa syarat.
“Rakyat Palestina hanya ingin hidup dalam damai dan bermartabat,” tutur Thawabteh. Ia menegaskan bahwa selama pelanggaran terus terjadi, penderitaan rakyat Gaza tidak akan berakhir.
Kini, dunia menanti apakah Israel akan menghentikan pelanggaran dan mematuhi komitmen internasionalnya, atau justru terus melanjutkan operasi militer yang telah menimbulkan krisis kemanusiaan terburuk di abad ini.