Heboh Demo di Nepal: Gen Z Tuntut Akhir dari "Nepo Kids" dan Korupsi Sistemik!
- REUTERS/Navesh Chitrakar
Gadget – Nepal tengah dilanda demonstrasi besar-besaran yang berujung pada bentrokan berdarah antara massa dan aparat keamanan. Kerusuhan ini mengakibatkan jatuhnya Perdana Menteri Sharma Oli setelah sebanyak 22 orang tewas dan lebih dari 100 orang terluka akibat bentrokan dengan polisi. Penyebab utama protes ini adalah frustrasi publik terhadap keluarga elit penguasa, khususnya fenomena "nepo kids"—anak-anak pejabat yang memamerkan gaya hidup mewah—dan tantangan ekonomi seperti pengangguran serta korupsi sistemik.
Pemicu Utama: Fenomena "Nepo Kids"
Istilah "nepo kids" menjadi viral di media sosial Nepal beberapa minggu sebelum protes meletus. Frasa ini merujuk pada anak-anak pejabat tinggi pemerintah dan menteri yang sering kali memamerkan kehidupan mewah mereka di platform seperti TikTok dan Instagram. Video-video tersebut menunjukkan mereka berpose di samping mobil mahal, menggunakan pakaian bermerek, dan menghabiskan waktu di restoran-restoran eksklusif.
Salah satu contoh yang mencolok adalah video Sayuj Parajuli, putra mantan Ketua Mahkamah Agung Nepal Gopal Parajuli, yang memamerkan mobil dan jam tangan mewah. Contoh lainnya adalah Saugat Thapa, putra Bindu Kumar Thapa, menteri hukum dan urusan parlemen di pemerintahan Oli. Fenomena ini semakin memperjelas kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin di Nepal.
Yog Raj Lamichhane, asisten profesor di Universitas Pokhara Nepal, menjelaskan bahwa kemarahan terhadap "nepo kids" mencerminkan frustrasi mendalam masyarakat terhadap korupsi dan ketidakadilan sosial. Para pejabat yang dulunya hidup sederhana sebagai pekerja partai kini tampak menikmati kehidupan mewah yang tidak sesuai dengan gaji resmi mereka.
Ketimpangan Ekonomi di Nepal
Jurang antara kaya dan miskin di Nepal sangat lebar. Pendapatan per kapita tahunan Nepal hanya sekitar US$ 1.400 atau setara Rp 23 juta, salah satu yang terendah di Asia Selatan. Tingkat kemiskinan nasional tetap tinggi, dengan lebih dari 20 persen penduduk hidup dalam kemiskinan.
Pengangguran di kalangan pemuda juga menjadi masalah besar. Menurut data Bank Dunia, 32,6 persen pemuda Nepal menganggur atau tidak mengenyam pendidikan pada tahun 2024, dibandingkan dengan 23,5 persen di India. Akibatnya, sekitar 7,5 persen penduduk Nepal tinggal di luar negeri untuk bekerja, menjadikan remitansi (kiriman uang) sebagai andalan perekonomian negara.
Pada tahun 2024, remitansi mencapai 33,1 persen dari PDB Nepal, salah satu proporsi tertinggi di dunia. Namun, meskipun kontribusi finansial ini signifikan, distribusi manfaatnya tetap tidak merata. Sebagian besar masyarakat pedesaan masih hidup dalam kemiskinan ekstrem, dengan kepemilikan lahan yang sangat timpang. 10 persen rumah tangga teratas memiliki lebih dari 40 persen lahan, sementara mayoritas penduduk miskin tidak memiliki akses lahan sama sekali.
Korupsi, Inflasi, dan Politik Dinasti
Selain ketimpangan sosial, korupsi dan politik dinasti juga menjadi penyebab utama frustasi masyarakat Nepal. Para analis mencatat bahwa diaspora Nepal di luar negeri memainkan peran penting dalam menyulut kemarahan melalui media sosial. Jaringan internasional ini membantu memperkuat narasi antikorupsi dan menyoroti priviledge elit.
Seorang sumber intelijen senior menjelaskan bahwa pola eskalasi protes di Nepal mirip dengan Bangladesh. "Aktivisme digital cepat menyebar ke jalanan, menyebabkan mobilisasi besar-besaran," katanya. Gerakan ini dipimpin oleh kaum muda yang merasa dirampas masa depan oleh sistem yang koruptif dan tidak adil.
Inti dari kedua gerakan ini adalah kemarahan antargenerasi. Kaum muda di Nepal dan Bangladesh melihat kelas politik sebagai korup dan egois, serta gagal menangani isu-isu penting seperti inflasi dan pengangguran. Jika tidak ditangani, kebencian ini dapat mengancam stabilitas sistem kepartaian tradisional.
Eskalasi di Parlemen
Situasi politik di Nepal semakin memburuk setelah 21 anggota parlemen dari Partai Rastriya Swatantra pimpinan Rabi Lamichhane menunjukkan sikap oposisi terhadap pemerintahan Oli. Aksi mogok ini memperdalam pertanyaan tentang legitimasi parlemen dan menjadi titik api bagi mobilisasi massa yang lebih luas.
Dalam surat pengunduran dirinya kepada Presiden Ramchandra Paudel, PM Sharma Oli menyatakan, "Mengingat situasi yang tidak menguntungkan di negara ini, saya telah mengundurkan diri efektif hari ini untuk memfasilitasi penyelesaian masalah secara politis sesuai dengan konstitusi."
Kesimpulan:
Demonstrasi berdarah di Nepal mencerminkan kemarahan mendalam terhadap korupsi, ketimpangan sosial, dan sistem politik yang dianggap tidak adil. Generasi muda, yang disebut sebagai "Gen Z," menuntut akhir dari praktik nepotisme dan priviledge elit melalui aksi protes yang signifikan. Apakah perubahan politik ini akan membawa solusi nyata bagi masyarakat Nepal? Mari kita tunggu perkembangan selanjutnya.
| Dapatkan informasi terbaru seputar Gadget, Anime, Game, Tech dan Berita lainnya setiap hari melalui social media Gadget VIVA. Ikuti kami di : | |
|---|---|
| @gadgetvivacoid | |
| Gadget VIVA.co.id | |
| X (Twitter) | @gadgetvivacoid |
| Whatsapp Channel | Gadget VIVA |
| Google News | Gadget |