Hamas Pilih Damai, Trump Pamer Keberhasilan, Netanyahu Panik Hadapi Ancaman Kudeta Politik
- illustrasi
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kini menghadapi badai politik terbesar dalam kariernya. Setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump secara mengejutkan mengumumkan bahwa Hamas menerima proposal gencatan senjata di Gaza pada Jumat (3/10/2025), situasi politik di Tel Aviv langsung memanas.
Tekanan datang dari dua arah yang sama-sama menentukan nasib Netanyahu. Di satu sisi, Amerika Serikat—sekutu terpenting Israel—mendesak agar operasi militer di Gaza segera dihentikan. Namun di sisi lain, partai-partai sayap kanan dalam koalisi pemerintahan Netanyahu menolak keras wacana penghentian perang, dan bahkan mengancam menarik dukungan jika ia tunduk pada desakan Washington.
Kejutan dari Gedung Putih
Menurut laporan Axios, Netanyahu dikabarkan “terkejut dan syok” ketika mendengar pengumuman yang disampaikan langsung oleh Trump. Pasalnya, sang perdana menteri berharap bisa berkoordinasi lebih dulu dengan Washington sebelum ada pernyataan publik mengenai kesepakatan damai itu. Namun, Trump bertindak cepat dan mengambil alih panggung diplomasi.
Lewat unggahan di media sosial Truth Social dan kemudian dalam video resmi dari Gedung Putih, Trump menyambut baik keputusan Hamas menerima proposal gencatan senjata. Ia menyerukan agar Israel segera menghentikan serangan dan pengeboman di Jalur Gaza, serta menegaskan pentingnya melaksanakan pertukaran tahanan sesegera mungkin.
Trump juga memberikan apresiasi kepada negara-negara Arab yang disebut turut memfasilitasi tercapainya kesepakatan tersebut. “Hari ini adalah langkah besar menuju perdamaian yang lebih stabil di Timur Tengah,” tulis Trump dalam pernyataannya.
Netanyahu Kehilangan Kendali
Langkah sepihak Trump itu langsung mengguncang kabinet Israel. Sumber di pemerintahan menyebut Netanyahu ingin menunda tanggapan resmi agar bisa terlebih dulu membahas langkah lanjutan bersama pejabat keamanan dan anggota kabinet. Namun, langkah cepat Trump membuat Netanyahu kehilangan kendali atas arah diplomasi dan narasi perang.
Kondisi ini menciptakan ketegangan internal di pemerintahan Israel. Beberapa pejabat keamanan senior disebut menilai bahwa mempertahankan operasi militer justru akan merugikan posisi diplomatik Israel di mata dunia. Namun di sisi lain, partai-partai sayap kanan menegaskan tidak akan mendukung penghentian perang sebelum Hamas benar-benar dilumpuhkan.