Siapa yang Bayar Utang Whoosh Rp120 T? Jokowi vs BUMN Berseteru Soal Tanggung Jawab
- kcic
Gadget – Perdebatan mengenai nasib proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB), yang kini dikenal dengan nama Whoosh, kembali memanas. Di satu sisi, mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan bahwa proyek ini bukanlah bisnis komersial, melainkan investasi sosial jangka panjang untuk mengatasi kemacetan kronis dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun di sisi lain, beban finansial yang mencapai Rp120,38 triliun kini menjadi tanggung jawab Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara)—lembaga yang menaungi sejumlah BUMN strategis, termasuk PT Kereta Api Indonesia (Persero).
Pertentangan ini bukan sekadar soal angka, melainkan dua paradigma berbeda dalam memandang infrastruktur publik: apakah transportasi massal harus menghasilkan laba, atau cukup memberikan manfaat sosial meski merugi secara akuntansi?
Artikel ini mengupas tuntas asal-usul utang Whoosh, argumen Jokowi tentang “investasi sosial”, tekanan finansial terhadap BUMN, serta dua opsi penyelamatan yang sedang disiapkan Danantara—semua dalam konteks transparansi dan akuntabilitas publik.
Jokowi: Kereta Cepat Bukan untuk Cari Laba, Tapi Investasi Sosial
Dalam pernyataannya di Solo pada 27 Oktober 2025, Jokowi menegaskan bahwa prinsip dasar transportasi massal adalah layanan publik, bukan instrumen profit. “Transportasi umum tidak diukur dari keuntungan finansial, tetapi dari keuntungan sosial,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa gagasan membangun Whoosh lahir dari kerugian ekonomi akibat kemacetan yang telah berlangsung puluhan tahun di Jabodetabek dan Bandung. Menurut hitungan pemerintah, kerugian akibat kemacetan di Jakarta saja mencapai Rp65 triliun per tahun. Jika ditambahkan wilayah Bandung dan sekitarnya, angkanya melonjak melebihi Rp100 triliun per tahun—berasal dari waktu produktif yang terbuang, konsumsi bahan bakar berlebih, dan polusi udara.
Dengan hadirnya Whoosh, masyarakat diharapkan beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi massal. Hasilnya? Waktu tempuh Jakarta–Bandung yang semula 3–4 jam kini hanya 45 menit, produktivitas meningkat, emisi karbon turun, dan titik-titik pertumbuhan ekonomi baru bermunculan di sepanjang koridor KCJB—seperti di Karawang, Padalarang, dan Tegalluar.
“Ini bukan proyek yang diukur ROI-nya seperti pabrik. Ini infrastruktur publik yang memberi nilai tambah bagi seluruh bangsa,” tegas Jokowi.
Fakta di Balik Angka: Utang Whoosh Capai Rp120,38 Triliun
Namun, realitas keuangan menceritakan kisah yang berbeda. Berdasarkan data Kompas.com, total utang proyek KCJB mencapai 7,27 miliar dolar AS, setara Rp120,38 triliun (asumsi kurs Rp16.500/dolar AS).
Rincian pembiayaannya:
- 75% berasal dari pinjaman China Development Bank (CDB) dengan bunga 2% per tahun dan tenor 40 tahun.
- Namun, karena cost overrun (pembengkakan biaya) sebesar 1,2 miliar dolar AS, dibutuhkan pinjaman tambahan.
- Pinjaman tambahan senilai 542,7 juta dolar AS diberikan dengan bunga lebih tinggi: 3,2% untuk denominasi dolar AS dan 3,1% untuk renminbi (RMB).
- 75% dari cost overrun ditanggung oleh konsorsium Indonesia, sisanya melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) dari APBN.
Artinya, pemerintah tidak hanya menanggung risiko awal, tetapi juga defisit akibat kenaikan biaya—yang seharusnya menjadi tanggung jawab pengembang.
Alih Tanggung Jawab: Dari APBN ke BPI Danantara
Untuk mencegah beban fiskal jangka panjang, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengusulkan agar utang Whoosh tidak lagi masuk dalam APBN, melainkan dikelola sepenuhnya oleh BPI Danantara.
“Kalau di bawah Danantara, mereka punya manajemen sendiri, dividen sendiri—rata-rata setahun bisa dapat Rp80 triliun atau lebih. Harusnya mereka yang manage utang KCJB. Jangan kita lagi,” ujar Purbaya dalam media briefing di Sentul, 10 Oktober 2025.
Skema ini bertujuan memisahkan urusan pemerintah dan bisnis BUMN. Dengan demikian, risiko finansial tidak lagi menjadi beban negara, melainkan tanggung jawab korporasi di bawah payung Danantara.
Namun, langkah ini menuai pertanyaan: Apakah Danantara benar-benar mampu menanggung utang raksasa ini tanpa subsidi terselubung dari APBN?
Dua Opsi Penyelamatan: Tambah Modal atau Serahkan Aset?
Chief Operating Officer (COO) Danantara, Dony Oskaria, mengungkapkan bahwa pihaknya tengah menyiapkan dua opsi strategis untuk menyelesaikan persoalan utang Whoosh:
- Menambah equity (modal ekuitas) melalui suntikan dana segar dari Danantara atau mitra strategis.
- Menyerahkan infrastruktur KCJB kepada entitas pengelola transportasi massal, mirip model MRT Jakarta yang dikelola oleh PT MRT Jakarta (BUMD).
“Kami ingin mencari solusi terbaik yang menjaga keberlanjutan PT KAI sekaligus memastikan Whoosh tetap beroperasi optimal,” kata Dony.
Saat ini, Whoosh telah melayani sekitar 30.000 penumpang per hari, menunjukkan adanya permintaan nyata. Namun, pendapatan tiket belum cukup menutup biaya operasional dan cicilan utang—apalagi bunga pinjaman dalam dolar AS yang rentan terhadap fluktuasi nilai tukar.
Investasi Sosial vs Akuntabilitas Fiskal: Di Mana Batasnya?
Inti perdebatan ini bukan soal pro atau kontra terhadap Whoosh, melainkan bagaimana negara mengelola aset publik yang bernilai besar namun tidak profitabel.
Di banyak negara maju, transportasi massal memang disubsidi negara—seperti subway di Tokyo, kereta bawah tanah di London, atau TGV di Prancis. Namun, subsidi tersebut dihitung secara transparan dalam anggaran, dan kinerja operator dievaluasi ketat.
Di Indonesia, masalahnya justru pada kaburnya batas antara investasi publik dan tanggung jawab korporasi. Ketika proyek dimulai sebagai kemitraan dengan swasta (termasuk BUMN dan mitra China), lalu berubah menjadi beban negara, akuntabilitas menjadi lemah.
Jokowi benar: Whoosh memberi manfaat sosial. Tapi publik juga berhak tahu:
- Berapa total subsidi yang telah dikeluarkan?
- Apakah ada mekanisme evaluasi dampak sosial yang objektif?
- Bagaimana rencana exit strategy agar tidak jadi beban turun-temurun?
Kesimpulan: Butuh Transparansi, Bukan Hanya Narasi
Proyek Whoosh adalah cerminan ambisi Indonesia membangun infrastruktur modern. Namun, ambisi tanpa tata kelola yang jelas berisiko menjadi beban generasi mendatang.
Jokowi boleh menyebutnya “investasi sosial”, tetapi investasi sosial tetap harus dikelola dengan prinsip tata kelola yang baik: transparan, akuntabel, dan berkelanjutan.
Kini, tanggung jawab itu beralih ke BPI Danantara. Tantangannya bukan hanya melunasi utang, tapi membuktikan bahwa infrastruktur publik bisa dikelola secara profesional tanpa mengorbankan keuangan negara.
Masyarakat menunggu—bukan retorika, tapi rencana konkret, angka yang jelas, dan komitmen nyata.
| Dapatkan informasi terbaru seputar Gadget, Anime, Game, Tech dan Berita lainnya setiap hari melalui social media Gadget VIVA. Ikuti kami di : | |
|---|---|
| @gadgetvivacoid | |
| Gadget VIVA.co.id | |
| X (Twitter) | @gadgetvivacoid |
| Whatsapp Channel | Gadget VIVA |
| Google News | Gadget |