Kota Anda Hujan? Ini Penyebab Aquaplaning yang Sering Diabaikan
- Dishub Aceh
Gadget – Saat hujan deras mengguyur, jalanan basah bukan hanya mengurangi jarak pandang—tapi juga membuka pintu bagi ancaman tersembunyi: aquaplaning. Fenomena ini kerap disalahpahami sebagai risiko semata-mata akibat ngebut di genangan air. Namun, menurut pakar otomotif, penyebab aquaplaning jauh lebih kompleks dan multidimensi.
Zulpata Zainal, seorang ahli ban mobil yang kerap menjadi rujukan dalam isu keselamatan berkendara, menegaskan: “Aquaplaning bukan hanya soal kecepatan.” Faktanya, ada setidaknya enam faktor kritis yang saling berinteraksi dan menentukan seberapa besar risiko kendaraan kehilangan traksi di atas lapisan air.
Artikel ini mengupas tuntas penyebab aquaplaning berdasarkan analisis teknis dari pakar, disertai penjelasan ilmiah, studi kasus nyata, serta langkah pencegahan yang bisa langsung diterapkan pengemudi—terutama di tengah meningkatnya curah hujan akhir-akhir ini.
Apa Itu Aquaplaning? Bahaya yang Sering Diremehkan
Aquaplaning (atau hydroplaning) terjadi ketika ban kendaraan kehilangan kontak langsung dengan permukaan jalan karena terangkat oleh lapisan air di atas aspal. Dalam kondisi ini, roda “mengambang” di atas air, sehingga pengemudi kehilangan kendali penuh—baik dalam hal pengereman, belokan, maupun akselerasi.
Gejalanya bisa muncul tiba-tiba:
- Setir terasa ringan atau “melayang”
- Kendaraan melaju lurus meski roda sudah dibelokkan
- Rem tidak merespons seperti biasa
Jika terjadi pada kecepatan tinggi, aquaplaning bisa berujung pada tabrakan beruntun, terguling, atau keluar jalur—terutama di jalan tol atau ruas lurus berkecepatan tinggi.
Yang paling berbahaya: pengemudi sering tidak menyadari aquaplaning terjadi hingga terlambat bereaksi.
Faktor Penyebab Aquaplaning Menurut Pakar: Lebih dari Sekadar Kecepatan
Zulpata Zainal menjelaskan bahwa aquaplaning adalah hasil dari interaksi kompleks antara kendaraan, ban, dan kondisi jalan. Berikut enam faktor utama yang memengaruhi risiko terjadinya fenomena ini:
1. Kecepatan Kendaraan: Pemicu, Bukan Satu-Satunya Penyebab
Memang benar: semakin cepat kendaraan melaju di atas genangan, semakin besar tekanan air yang mendorong ban terangkat. Namun, tidak ada angka pasti—misalnya “60 km/jam pasti aquaplaning”—karena variabel lain turut menentukan.
“Tidak bisa dijadikan patokan bahwa kecepatan 60–70 km/jam akan otomatis menyebabkan aquaplaning. Semua tergantung pada bobot kendaraan, kedalaman air, dan kondisi ban,” tegas Zulpata.
2. Kondisi Ban: Aus = Bahaya
Ban yang sudah melewati Tread Wear Indicator (TWI)—tanda keausan minimum—kehilangan kemampuan mengalirkan air melalui alur kembangannya. Ban gundul tidak bisa “mengiris” lapisan air, sehingga risiko aquaplaning meningkat drastis, bahkan di kecepatan rendah.
3. Tekanan Angin Ban: Terlalu Rendah Perparah Risiko
Ban yang kurang angin memiliki permukaan telapak yang lebih lebar menyentuh jalan, tapi justru mengurangi efisiensi saluran air. Tekanan rendah juga membuat ban lebih mudah “terperangkap” di genangan karena struktur dinding sampingnya lemah.
4. Bobot Kendaraan: Mobil Ringan Lebih Rentan
Kendaraan ringan seperti hatchback atau mobil listrik tanpa muatan berat lebih mudah terangkat oleh lapisan air. Sebaliknya, truk berat atau SUV bermuatan penuh justru sulit mengalami aquaplaning—meski bannya aus.
“Truk muatan penuh melibas genangan air sangat susah mengalami aquaplaning. Yang terjadi paling selip, bukan aquaplaning,” jelas Zulpata.
5. Kedalaman Genangan Air: Semakin Dalam, Semakin Berbahaya
Genangan setinggi 3–5 mm saja sudah cukup memicu aquaplaning pada kecepatan sedang. Di jalan dengan drainase buruk—seperti banyak ruas di kota besar—genangan bisa mencapai 10 cm atau lebih, menciptakan “danau mini” yang sangat berisiko.
6. Desain Pola Kembangan Ban: Sodetan Air Harus Optimal
Pola kembangan ban modern dirancang dengan saluran longitudinal dan lateral untuk mengalirkan air ke samping dan belakang. Jika desainnya buruk—atau alurnya tertutup kotoran—kemampuan “menguras” air berkurang drastis. Bagian tengah telapak ban (yang paling sering aus) sangat krusial dalam mencegah aquaplaning.
Mitos vs Fakta: Apa yang Sebenarnya Picu Aquaplaning?
Mitos: “Asal pelan, pasti aman dari aquaplaning.”
Fakta: Ban gundul + genangan 5 cm + kecepatan 40 km/jam = risiko tinggi, meski “pelan”.
Mitos: “Hanya mobil kecil yang rentan.”
Fakta: Semua kendaraan bisa mengalami aquaplaning—tapi mobil ringan jauh lebih cepat kehilangan traksi.
Mitos: “Aquaplaning sama dengan selip biasa.”
Fakta: Selip masih ada kontak ban-aspal; aquaplaning = nol traksi. Reaksi pengemudi harus berbeda.
Langkah Pencegahan: Cara Menghindari Aquaplaning Saat Hujan
BMKG dan pakar keselamatan lalu lintas menyarankan langkah-langkah berikut:
1. Periksa Kondisi Ban Secara Berkala
Ganti ban jika sudah mencapai TWI (biasanya kedalaman <1,6 mm)
Pilih ban dengan pola kembangan dirancang untuk wet grip (traksi basah)
2. Pastikan Tekanan Angin Sesuai Rekomendasi Pabrikan
Cek minimal sebulan sekali
Jangan kurangi tekanan saat hujan—ini justru berbahaya
3. Kurangi Kecepatan di Jalan Basah
Turunkan 20–30% dari kecepatan normal
Hindari pengereman mendadak
4. Jaga Jarak Aman Lebih dari Biasanya
Waktu reaksi lebih lama di jalan licin
Minimal 4 detik dari kendaraan di depan
5. Hindari Genangan Air Jika Memungkinkan
Jika harus melewati, lakukan perlahan dan lurus
Jangan belok atau rem saat di tengah genangan
6. Gunakan Teknologi Bantuan (Jika Tersedia)
Sistem ESP (Electronic Stability Program) dan ABS bisa membantu, tapi tidak mencegah aquaplaning—hanya meminimalkan dampak setelah terjadi.
Apa yang Harus Dilakukan Jika Mengalami Aquaplaning?
Jika tiba-tiba kendaraan “melayang”:
- Jangan panik atau menginjak rem keras
- Lepaskan pedal gas perlahan
- Pegang setir erat-erat, pertahankan arah lurus
- Tunggu hingga ban kembali menapak aspal
- Baru setelah itu, lakukan manuver perlahan
- Mengerem atau membelok saat aquaplaning justru bisa membuat mobil spin atau terguling.
Kesimpulan: Keselamatan Dimulai dari Ban yang Sehat
Aquaplaning bukan takdir—melainkan risiko yang bisa dikelola. Dengan memahami bahwa penyebabnya tidak hanya kecepatan, tapi juga kondisi ban, tekanan udara, bobot kendaraan, dan desain jalan, pengemudi bisa mengambil langkah proaktif.
Di tengah musim hujan yang kian intens, merawat ban bukan sekadar soal kenyamanan—tapi soal nyawa. Seperti kata Zulpata Zainal:
“Jangan tunggu ban bocor atau pecah untuk ganti. Kalau sudah aus, itu bom waktu di jalan basah.”
Dengan kesadaran dan persiapan yang tepat, kita semua bisa berkendara lebih aman—meski langit sedang menangis deras.
| Dapatkan informasi terbaru seputar Gadget, Anime, Game, Tech dan Berita lainnya setiap hari melalui social media Gadget VIVA. Ikuti kami di : | |
|---|---|
| @gadgetvivacoid | |
| Gadget VIVA.co.id | |
| X (Twitter) | @gadgetvivacoid |
| Whatsapp Channel | Gadget VIVA |
| Google News | Gadget |