Investigasi Media AS Bongkar Kejanggalan Piala Dunia 2026—FIFA Tak Berani Jawab!
- REUTERS/Ibraheem Al Omari
Respons Timnas Indonesia dan Negara Lain
Timnas Indonesia, melalui manajer tim dan PSSI, belum mengajukan protes resmi ke FIFA, meski kekecewaan terlihat jelas di ruang ganti. Sementara itu, Oman dan UEA dikabarkan tengah mengkaji langkah hukum kolektif jika tidak ada transparansi.
Presiden Federasi Sepak Bola Jepang (JFA) bahkan menegaskan bahwa Jepang tidak akan ikut dalam “federasi tandingan”, tetapi mendesak AFC untuk memperbaiki tata kelola agar kepercayaan publik tidak runtuh.
Mengapa FIFA dan AFC Takut Bicara?
Ada beberapa spekulasi mengapa FIFA dan AFC memilih diam:
- Tekanan geopolitik: Arab Saudi dan Qatar adalah investor besar dalam sepak bola global (melalui Saudi Pro League, kepemilikan klub Eropa, dan rencana Piala Dunia 2034).
- Kepentingan komersial: Kedua negara menawarkan infrastruktur mewah, keamanan ketat, dan pendanaan penuh—sesuatu yang sulit ditolak di tengah krisis finansial federasi.
- Ketakutan akan investigasi lebih dalam: Jika membuka dokumen bidding, bisa terbongkar praktik backroom deal yang melibatkan elite sepak bola Asia.
Namun, dengan diam, FIFA justru merusak kredibilitasnya sendiri sebagai penjaga integritas olahraga dunia.
Apa yang Harus Dilakukan Sekarang?
Untuk memulihkan kepercayaan, FIFA dan AFC harus:
- Membuka dokumen lengkap proses pemilihan tuan rumah Round 4.
- Merevisi regulasi agar larangan tuan rumah peserta ditegakkan tanpa pengecualian.
- Membentuk komite independen untuk meninjau ulang keputusan wasit dan distribusi tiket.
- Memberikan kompensasi logistik adil untuk tim yang dirugikan di babak berikutnya.
Tanpa langkah konkret, Piala Dunia 2026 berisiko kehilangan legitimasi moralnya—bukan karena kualitas permainan, tapi karena proses yang tidak adil sejak babak kualifikasi.
Kesimpulan: Ketika Sepak Bola Dikendalikan oleh Kepentingan, Bukan Sportivitas
Round 4 Kualifikasi Piala Dunia 2026 seharusnya menjadi panggung bagi talenta Asia untuk bersaing demi mimpi dunia. Namun, kenyataannya, arena ini justru menjadi cermin ketimpangan kekuasaan, di mana negara kaya dengan pengaruh politik bisa “membeli” keuntungan kompetitif.
FIFA dan AFC punya pilihan: bertahan dalam diam dan kehilangan kepercayaan publik, atau berani transparan dan memperbaiki kesalahan.
Bagi Timnas Indonesia dan negara-negara kecil lainnya, keadilan bukanlah kemewahan—itu adalah hak dasar dalam olahraga.