Radja Nainggolan Akui Menyesal: “Saya Lebih Dihormati Jika Bermain untuk Indonesia”
- lifehack
Radja Nainggolan, mantan bintang Timnas Belgia yang dikenal dengan gaya bermain keras dan penuh determinasi, membuat pengakuan mengejutkan. Ia menyatakan bahwa dirinya lebih memilih memperkuat Timnas Indonesia seandainya tahu bahwa Belgia akan ditangani Roberto Martinez. Pernyataan tersebut sontak menjadi sorotan publik, terutama bagi pencinta sepak bola Tanah Air yang selama ini mengagumi sosok berdarah Batak itu.
Nama Radja Nainggolan mulai mencuri perhatian publik pada 2007, ketika ia membela klub Serie A, Piacenza. Saat itu, kemampuan mengontrol bola dan tendangannya yang keras membuat banyak klub besar Italia meliriknya. Puncak performanya datang ketika ia resmi bergabung dengan Cagliari pada 2010. Dari sanalah kariernya melesat dan membawanya ke panggung besar sepak bola Eropa.
Pada periode tersebut, PSSI mulai gencar melakukan program naturalisasi pemain asing yang bermain di Liga Indonesia. Beberapa nama kemudian berhasil memperkuat Timnas Indonesia. Namun, Nainggolan yang memiliki darah Indonesia dari sang ayah, Marius Nainggolan asal Sumatera Utara, memilih tetap memperjuangkan karier di Belgia. Ia menolak kesempatan membela Garuda dan memilih jalur profesional di negara kelahirannya.
Keputusan itu kala itu tampak logis. Radja sukses menembus skuad Timnas Belgia, yang tengah membangun generasi emas berisi pemain-pemain top seperti Eden Hazard, Kevin De Bruyne, dan Romelu Lukaku. Sejak akhir 2014 hingga penghujung 2015, Radja menjadi bagian penting dari tim berjuluk De Rode Duivels itu, tampil dalam 13 dari 15 pertandingan internasional yang dijalani Belgia. Ia dikenal sebagai gelandang bertahan yang kuat dan tidak segan melakukan duel keras di lini tengah.
Namun, segalanya berubah setelah Piala Eropa 2016. Saat itu, Roberto Martinez ditunjuk menjadi pelatih baru Timnas Belgia. Keputusan tersebut menjadi titik balik dalam perjalanan karier internasional Nainggolan. Di bawah asuhan Martinez, posisinya perlahan tergeser. Hubungan keduanya pun mulai merenggang.
Puncaknya terjadi ketika Belgia mengumumkan skuad untuk Piala Dunia 2018 di Rusia. Nama Radja Nainggolan tidak ada dalam daftar tersebut. Keputusan itu mengejutkan banyak pihak, mengingat performanya di AS Roma saat itu masih sangat konsisten. Bagi Nainggolan, keputusan tersebut terasa sebagai bentuk ketidakadilan.
Dalam wawancara di Podcast Take A Seat, Nainggolan melontarkan kritik keras terhadap sang pelatih. “Roberto Martinez bukan ahli sepak bola, dia pelatih yang sangat buruk. Belgia bisa saja memenangkan gelar kalau pelatihnya bukan dia,” tegas Nainggolan. Ia bahkan menilai bahwa di bawah Martinez, Belgia tidak punya taktik yang jelas. “Saat kami kesulitan, instruksinya hanya oper ke Hazard, De Bruyne, atau Lukaku. Tidak pernah ada strategi yang matang,” tambahnya.
Komentar tersebut menunjukkan kekecewaan mendalam terhadap pelatih yang dianggapnya gagal memaksimalkan potensi generasi emas Belgia. Meski begitu, Nainggolan tetap dikenal sebagai pemain dengan loyalitas tinggi terhadap tim, meski sering kali ia berkonflik dengan pelatih karena sikapnya yang blak-blakan.
Kini, setelah pensiun dari level internasional dan sempat bermain di Liga 1 bersama Bhayangkara FC pada musim 2023–2024, Radja Nainggolan mulai merenungkan kembali keputusannya di masa lalu. Ia mengaku menyesal karena tidak memilih membela Indonesia ketika memiliki kesempatan. “Hari ini, saya berkata pada diri sendiri bahwa saya lebih memilih bermain untuk Indonesia, demi rasa hormat yang akan mereka tunjukkan kepada saya,” ujarnya dengan nada penyesalan.
Pernyataan tersebut bukan tanpa alasan. Di Indonesia, Radja Nainggolan mendapat sambutan hangat dari para penggemar sepak bola Tanah Air. Meski hanya semusim membela Bhayangkara FC, karismanya di lapangan membuat banyak suporter menganggapnya bagian dari keluarga besar sepak bola Indonesia. Sikap rendah hati dan kedekatannya dengan masyarakat membuat namanya begitu disegani.
Selain itu, warisan darah Indonesia dari sang ayah membuat banyak orang merasa bangga. Di tengah maraknya pemain keturunan yang kini membela Timnas Indonesia seperti Jay Idzes, Jordi Amat, dan Sandy Walsh, sosok Nainggolan menjadi simbol bahwa darah Indonesia bisa berkiprah di panggung sepak bola dunia.
Kini, ketika ia berbicara tentang rasa penyesalan karena tak pernah membela Garuda, publik Indonesia tentu bisa memahami perasaannya. Dalam karier yang penuh lika-liku, ia telah bermain di klub besar seperti AS Roma, Inter Milan, dan Cagliari, namun mengakui bahwa rasa hormat yang ia cari mungkin justru ada di negeri ayahnya sendiri.
Jika waktu bisa diputar, mungkin Radja Nainggolan akan mengambil keputusan berbeda. Ia mungkin akan memilih merah-putih di dada, bukan hanya demi karier, tapi juga demi kebanggaan dan cinta dari jutaan pendukung Indonesia yang kini menganggapnya bagian dari mereka.
 
	         
             
           
              
     
              
     
              
     
              
     
              
     
     
     
     
     
     
                   
                   
                   
                   
                   
    