Pelaku Ledakan SMAN 72 Diduga Korban Bullying, Polisi Ungkap Fakta Mengejutkan!
- Istimewa
Identitas Pelaku: Siswa Sekolah, Bukan Teroris
Kapolri menegaskan bahwa tidak ada indikasi keterlibatan jaringan teroris internasional dalam insiden ini. “Informasi sementara, (terduga pelaku) masih dari lingkungan sekolah tersebut,” kata Listyo.
Tim gabungan dari Polda Metro Jaya dan Densus 88 kini tengah mendalami:
- Identitas lengkap pelaku
- Riwayat pendidikan dan sosialnya
- Kondisi psikologis sebelum kejadian
- Kemungkinan kaitan dengan bullying
“Kami sedang melakukan pendalaman terkait identitas dan kehidupan sosial pelaku, termasuk pemeriksaan di kediamannya,” tambah Kapolri.
Fakta bahwa pelaku juga menjadi korban luka menunjukkan bahwa alat peledak kemungkinan besar meledak di dekat tubuhnya, baik secara sengaja maupun tidak terkendali.
Senjata Replika dengan Tulisan Misterius: Apa Artinya?
Salah satu temuan mencurigakan adalah senjata replika yang dibawa pelaku, lengkap dengan tulisan tangan yang memicu spekulasi luas:
- “For Agartha”
- “Brenton Tarrant”
- “Welcome to Hell”
Kapolri mengonfirmasi bahwa senjata tersebut hanya mainan, tetapi tulisan-tulisannya sedang diteliti sebagai bagian dari motif.
Analisis Singkat Tulisan:
Brenton Tarrant adalah pelaku penembakan masjid Christchurch 2019 di Selandia Baru serangan rasis berbasis ideologi ekstrem kanan.
“For Agartha” merujuk pada mitos kota bawah tanah dalam okultisme, sering dikaitkan dengan teori konspirasi dan kelompok radikal.
“Welcome to Hell” adalah frasa yang kerap digunakan dalam narasi balas dendam atau keputusasaan ekstrem.
Namun, Kapolri menekankan: “Semua ini masih dalam pendalaman. Belum bisa disimpulkan sebagai indikator ideologi tertentu.”
Pakar psikologi sosial menduga, tulisan itu mungkin ekspresi kemarahan atau identifikasi diri dengan tokoh kontroversial, bukan bukti afiliasi organisasi.
Dugaan Motif: Korban Bullying yang Terpinggirkan
Salah satu narasi yang paling berkembang di media sosial adalah bahwa pelaku menjadi korban bullying kronis di sekolahnya. Meski belum diverifikasi resmi, Kapolri tidak membantah kemungkinan tersebut.
“Kami sedang mendalami kehidupan sosialnya, termasuk interaksinya dengan teman sekelas dan guru,” ujarnya.
Jika terbukti, kasus ini menjadi peringatan keras bagi sistem pendidikan Indonesia: bullying bukan sekadar “gurauan anak sekolah”, tapi bisa berujung pada krisis kesehatan mental dan kekerasan ekstrem.
Menurut data Kementerian Pendidikan, lebih dari 40% siswa SMP/SMA pernah mengalami bullying, namun hanya 5% kasus dilaporkan karena rasa malu, takut, atau ketiadaan mekanisme pelaporan yang aman.