AS Desak Damai, Israel Tak Gubris: Gaza Kembali Jadi Neraka Dunia
- illustrasi
Konflik di Jalur Gaza kembali memanas. Meski Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah mendesak Israel untuk menghentikan serangan udara dan pengeboman, pasukan Negeri Zionis itu tetap melanjutkan gempurannya ke berbagai wilayah Gaza. Sepanjang hari Minggu, serangan brutal tersebut menewaskan sedikitnya 24 orang, termasuk empat pencari suaka yang sedang berada di dekat pusat distribusi bantuan di Rafah.
Menurut laporan Al Jazeera, yang mengutip keterangan dari Rumah Sakit Nasser pada Senin (6/10/2025), para korban kebanyakan adalah warga sipil yang tak memiliki tempat berlindung aman. Serangan itu tidak hanya menyasar area permukiman, tetapi juga menargetkan lokasi pengungsian serta pusat bantuan kemanusiaan yang padat penduduk.
Situasi semakin mencekam ketika serangan udara dan operasi darat Israel menghantam jantung Kota Gaza. Saksi mata menyebutkan, ledakan terdengar tanpa henti dari pagi hingga malam hari. “Warga Palestina berharap bisa tidur nyenyak, tapi itu tidak terjadi,” ujar jurnalis Al Jazeera Arabic, Hani Mahmoud, menggambarkan suasana mencekam di lapangan.
Sementara itu, di sisi lain perbatasan, sebagian warga Israel justru menggelar demonstrasi besar-besaran. Mereka memblokade jalan menuju Gaza, berusaha mencegah pasukan Zionis masuk ke wilayah tersebut. Gelombang protes ini menunjukkan perpecahan di dalam negeri, antara kelompok yang mendukung operasi militer dan mereka yang menuntut segera dilakukan gencatan senjata untuk mengakhiri penderitaan warga sipil di Gaza.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Marco Rubio, dalam pernyataannya menegaskan bahwa perang di Gaza belum sepenuhnya berakhir, meski ada tanda-tanda gencatan senjata yang semakin mendekat. Rubio menilai bahwa peluang mencapai kesepakatan damai kali ini adalah yang paling besar sejak upaya terakhir dilakukan beberapa bulan lalu.
Namun, Rubio juga mengingatkan pentingnya menghentikan serangan militer sebelum negosiasi dimulai. “Anda tidak bisa membebaskan sandera di tengah-tengah serangan. Serangan harus dihentikan terlebih dahulu. Tidak boleh ada perang yang berlangsung selama negosiasi,” ujarnya dalam wawancara dengan stasiun televisi CBS.
Pernyataan ini muncul menjelang pertemuan negosiasi penting di Mesir yang dijadwalkan berlangsung hari ini. Amerika Serikat bersama mediator regional berharap proses tersebut dapat membuka jalan bagi kesepakatan damai permanen antara Israel dan Hamas.
Kabar terbaru dari jalur diplomasi menyebutkan bahwa Hamas telah menyatakan kesediaannya untuk menerima proposal perdamaian yang diajukan oleh pemerintahan Trump. Dalam proposal tersebut, Israel diminta untuk menghentikan seluruh operasi militer di Gaza, sementara Hamas akan menghentikan serangan roket ke wilayah Israel. Jika kesepakatan tercapai, maka langkah ini bisa menjadi titik balik penting dalam konflik panjang yang telah menelan banyak korban jiwa di kedua pihak.
Namun, hingga kini, Israel belum menunjukkan tanda-tanda akan menuruti tekanan internasional. Pasukan militernya justru memperluas area operasi ke bagian selatan Gaza, termasuk ke wilayah yang sebelumnya dianggap sebagai zona aman bagi warga sipil. Serangan bertubi-tubi yang dilakukan sepanjang akhir pekan mengakibatkan ratusan bangunan hancur, sementara ribuan warga harus mengungsi ke tempat-tempat yang sudah penuh sesak.
Kantor Media Pemerintah Gaza mencatat bahwa sejak 7 Oktober 2023, serangan Israel telah memusnahkan lebih dari 2.700 keluarga Palestina—sekitar 8.500 orang tewas, termasuk 1.015 bayi berusia di bawah satu tahun. Angka tersebut menggambarkan betapa tragisnya situasi kemanusiaan di wilayah yang terkepung itu.
Selain korban sipil, serangan tersebut juga menewaskan sedikitnya 1.670 tenaga medis, 254 jurnalis, dan 140 petugas penyelamat dari pertahanan sipil. Rumah sakit-rumah sakit di Gaza kini berada di ambang kolaps akibat kekurangan pasokan obat, bahan bakar, dan peralatan medis. Banyak tenaga kesehatan terpaksa bekerja tanpa henti dengan sumber daya yang minim, sementara korban terus berdatangan setiap jam.
Di tengah kekacauan ini, dunia internasional mulai menunjukkan keprihatinan yang mendalam. Organisasi kemanusiaan menyerukan pembukaan koridor bantuan untuk mengirim pasokan makanan, air bersih, dan obat-obatan ke wilayah yang terisolasi. Namun, blokade yang diterapkan Israel membuat upaya tersebut berjalan sangat lambat.
Masyarakat global semakin menekan Israel agar menghentikan serangan dan membuka akses bagi bantuan kemanusiaan. Di berbagai negara, demonstrasi solidaritas untuk rakyat Palestina terus bermunculan, termasuk di Amerika dan Eropa. Banyak yang menilai, tanpa tekanan nyata dari sekutu-sekutunya, Israel akan terus melanjutkan operasi militernya tanpa mempertimbangkan dampak kemanusiaan.
Sementara itu, pemerintah Mesir tengah memainkan peran penting sebagai mediator. Negosiasi yang berlangsung di Kairo diharapkan dapat menghasilkan kesepakatan gencatan senjata sementara yang memungkinkan bantuan masuk dan korban sipil dievakuasi. Namun, para analis menilai bahwa keberhasilan perundingan ini sangat bergantung pada kesediaan Israel untuk menahan diri dan memberikan ruang bagi proses diplomasi berjalan.
Bagi warga Gaza, setiap hari yang berlalu terasa seperti perjuangan untuk bertahan hidup. Listrik hanya menyala beberapa jam, air bersih semakin sulit didapat, dan rumah-rumah mereka berubah menjadi puing-puing. Meski begitu, semangat untuk bertahan tetap ada.
Seorang warga Gaza yang berhasil dihubungi media lokal mengatakan, “Kami hanya ingin hidup damai. Kami lelah mendengar suara bom setiap malam.” Pernyataan itu mencerminkan harapan sederhana yang kini menjadi impian besar jutaan warga Palestina.
Konflik ini sekali lagi menunjukkan betapa rapuhnya perdamaian di Timur Tengah. Di tengah gempuran tanpa henti dan penderitaan yang tiada akhir, dunia menantikan langkah nyata untuk menghentikan perang dan membuka jalan menuju perdamaian yang sesungguhnya. Jika negosiasi di Mesir berhasil, maka mungkin, untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir, secercah harapan bisa kembali muncul di langit Gaza yang selama ini diselimuti asap dan debu perang.