Teror Suara Hantu dari Thailand Bikin Warga Kamboja Stres dan Tak Bisa Tidur: ‘Perang Suara’ di Perbatasan Asia Tenggara

Warga Kamboja Diteror ‘Suara Hantu’ dari Thailand
Sumber :
  • lifehack

Suasana di perbatasan Kamboja dan Thailand memanas kembali setelah muncul laporan mengerikan tentang aksi “perang suara” yang dilakukan militer Thailand. Warga di desa-desa perbatasan Kamboja mengaku tidak bisa tidur selama berhari-hari karena dihantui suara aneh menyerupai jeritan hantu dan deru mesin pesawat yang diputar keras-keras sepanjang malam. Suara tersebut bukan berasal dari makhluk gaib, melainkan dari sound horeg — sistem pengeras suara besar yang digunakan militer Thailand untuk menebar ketakutan di seberang perbatasan.

Guncang Dunia! Pengadilan Internasional Nyatakan Israel Lakukan Genosida di Gaza, AS Ikut Disorot

Fenomena ini dilaporkan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Kamboja, yang menyebut bahwa unit militer Thailand dengan sengaja menyalakan rekaman audio bernada tinggi pada malam hari. Suara itu menggema hingga ke wilayah Kamboja dan terdiri atas jeritan melengking, ratapan menyeramkan, hingga efek suara mesin pesawat. Rekaman tersebut diputar terus-menerus dari malam hingga dini hari, membuat warga setempat mengalami gangguan tidur, kecemasan, bahkan tekanan psikologis.

Dalam laporan resmi Komnas HAM Kamboja yang dikutip dari The Guardian, disebutkan bahwa aksi itu telah menyebabkan gangguan emosional dan fisik pada masyarakat sipil. “Audio yang mengganggu dan berlangsung lama tersebut mengganggu tidur, memicu kecemasan, dan menyebabkan ketidaknyamanan fisik bagi warga sipil,” tulis lembaga tersebut.

Dunia Tegang! AS Kerahkan Kapal Induk ke Karibia, Isyarat Serangan ke Venezuela Kian Nyata

Ketegangan Pascakonflik

Aksi aneh ini terjadi di tengah kondisi yang masih rapuh setelah gencatan senjata antara Thailand dan Kamboja yang disepakati pada Juli lalu. Perdamaian sementara itu tercapai berkat mediasi Malaysia sebagai Ketua ASEAN. Namun, di lapangan, situasi ternyata belum sepenuhnya stabil. Suasana saling curiga dan ketegangan masih terasa kuat, terutama di wilayah perbatasan tempat dua negara kerap bersitegang.

Media Thailand Sudah Ramal Timnas Indonesia Jadi Harapan Terakhir ASEAN di Piala Dunia 2026

Sebagai catatan, konflik antara kedua negara memang memiliki akar panjang, terutama terkait sengketa wilayah kuil kuno Preah Vihear yang berada di perbatasan. Sejak beberapa tahun terakhir, bentrokan kecil dan insiden saling tuding masih kerap terjadi, meski tidak selalu berujung pada kekerasan bersenjata. Namun kali ini, senjata yang digunakan bukan peluru, melainkan suara — dan dampaknya tidak kalah menakutkan.

Reaksi Pemerintah Kamboja

Mantan Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen, mengecam keras tindakan tersebut. Dalam unggahan di media sosialnya, Hun Sen menyebut tindakan militer Thailand sebagai teror psikologis yang jelas-jelas melanggar hak asasi manusia. Ia menilai penggunaan suara menyeramkan itu sebagai upaya untuk menebar ketakutan dan melemahkan mental warga Kamboja yang tinggal di dekat perbatasan.

“Suara-suara itu bukan sekadar gangguan. Mereka menebar ketakutan dan trauma bagi warga di sepanjang perbatasan,” tulis Hun Sen di akun Facebook-nya. Ia menegaskan bahwa pemerintah Kamboja telah mengirim laporan resmi ke Komisaris Tinggi PBB untuk HAM, Volker Turk, guna menuntut pertanggungjawaban atas tindakan tersebut.

Sementara itu, Hun Manet, putra Hun Sen yang kini menjabat sebagai Perdana Menteri Kamboja, juga ikut angkat bicara. Ia menyatakan bahwa Kementerian Luar Negeri Kamboja telah mengajukan keluhan resmi kepada pihak Thailand dan membahas insiden ini dengan Malaysia sebagai mediator gencatan senjata. Langkah diplomatik itu diambil agar situasi tidak semakin memburuk dan memicu bentrokan baru di perbatasan.

Dikecam Dunia Internasional

Aksi “unik” militer Thailand ini mendapat perhatian luas dari berbagai kalangan internasional. Banyak pihak menilai tindakan itu tidak etis dan bertentangan dengan semangat perdamaian regional yang selama ini dijunjung tinggi oleh ASEAN. Beberapa analis bahkan menjuluki peristiwa ini sebagai “perang suara” pertama di Asia Tenggara, di mana konflik dilakukan tanpa senjata, namun tetap meninggalkan luka psikologis yang mendalam.

Pengamat politik dari Universitas Chulalongkorn di Bangkok menyebut bahwa penggunaan sound horeg oleh militer Thailand bisa dianggap sebagai bentuk perang psikologis modern yang memanfaatkan efek suara untuk menggoyang ketenangan musuh. “Ini bukan hanya soal kebisingan, tetapi strategi menekan mental masyarakat sipil agar mereka merasa tidak aman di wilayahnya sendiri,” ujarnya.

Selain itu, lembaga HAM internasional juga menyoroti dampak jangka panjang dari praktik seperti ini. Suara keras dan mengganggu yang diputar terus-menerus dapat menyebabkan stres kronis, gangguan tidur, hingga masalah kesehatan mental bagi warga yang terpapar. Dalam konteks kemanusiaan, tindakan seperti ini dinilai melanggar Konvensi Jenewa karena menargetkan warga sipil, bukan kombatan.

Warga Hidup dalam Ketakutan

Di sisi lain, kesaksian warga di daerah perbatasan memperlihatkan dampak nyata dari teror suara tersebut. Seorang warga desa di provinsi Oddar Meanchey, yang tak jauh dari perbatasan Thailand, mengaku tidak bisa tidur selama empat malam berturut-turut. “Suara itu seperti jeritan hantu yang datang dari langit. Anak-anak menangis setiap malam,” ujarnya kepada media lokal.

Banyak warga akhirnya memilih mengungsi sementara ke daerah yang lebih dalam, menjauh dari sumber suara. Beberapa di antaranya bahkan mengalami gangguan kesehatan, seperti sakit kepala berat dan tekanan darah naik akibat kurang tidur. Pemerintah lokal kini menyediakan pusat evakuasi sementara dan bantuan medis bagi warga terdampak.

Seruan untuk Mengakhiri Teror Suara

Sejumlah organisasi masyarakat sipil di Kamboja menyerukan agar Thailand segera menghentikan praktik ini dan menempuh jalur diplomasi untuk menyelesaikan konflik perbatasan. Mereka menegaskan bahwa “perang suara” bukanlah jalan menuju perdamaian, melainkan hanya memperdalam luka dan ketakutan di antara kedua bangsa yang bertetangga.

Situasi di perbatasan kini masih dalam pemantauan ketat. Pemerintah Kamboja berharap tekanan dari komunitas internasional dapat membuat Thailand menghentikan aksi tersebut dan kembali duduk bersama untuk mencari solusi damai. Di tengah keheningan malam yang seharusnya tenang, warga Kamboja kini hanya berharap satu hal sederhana: bisa tidur tanpa teror suara hantu dari seberang perbatasan.