Meski Ada Jay Idzes dan Kevin Diks, Eks PSM: Sepakbola Indonesia Masih Tertingga
- Timnas Indonesia
 
Eks pemain PSM Makassar asal Belanda, Anco Jansen, melontarkan kritik tajam terhadap sepakbola Indonesia. Dalam sebuah podcast bertajuk Voetbalpraat yang tayang pada Maret 2025, ia menyebut bahwa kualitas sepakbola di Tanah Air masih jauh tertinggal, meski kini banyak pemain diaspora yang tampil di klub Eropa seperti Jay Idzes di Sassuolo dan Kevin Diks di Borussia Monchengladbach.
Menurut Jansen, kehadiran pemain-pemain berdarah Indonesia di kompetisi elite Eropa belum menjadi indikator bahwa sepakbola Indonesia sudah berkembang. Ia menilai ada banyak hal mendasar yang belum dibenahi, terutama soal fasilitas dan sistem pembinaan pemain muda.
“Fasilitas, akademi, dan pelatih di sana (Indonesia) sangat terbatas. Itu cukup menjelaskan kondisi sepakbolanya. Para pemain naturalisasi memang menarik perhatian karena jumlah pengikutnya di media sosial, tapi secara kualitas, sepakbola di Indonesia sebenarnya tidak ada apa-apanya,” ujarnya dikutip dari Okezone.
Kenal Dekat Sepakbola Indonesia
Pernyataan keras itu tentu tidak datang tanpa pengalaman. Anco Jansen sempat bermain di PSM Makassar pada musim 2021–2022 dan mencatat 22 pertandingan dengan torehan lima gol serta satu assist. Selama memperkuat klub berjuluk Juku Eja tersebut, ia mengaku melihat secara langsung bagaimana sistem pembinaan dan fasilitas sepakbola di Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara lain.
Meskipun banyak penggemar sepakbola di Tanah Air menunjukkan antusiasme luar biasa, Jansen merasa masih ada kesenjangan besar antara semangat suporter dan profesionalisme klub. Ia menilai semangat tinggi itu belum dibarengi dengan manajemen yang modern dan infrastruktur memadai.
Sebut Indonesia Negara Miskin
Tak berhenti di situ, Jansen juga menyampaikan pandangan kontroversial lainnya tentang kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia. Ia menyebut bahwa Indonesia adalah “negara miskin” namun warganya memiliki smartphone mahal dan sangat aktif di media sosial.
“Ya, itu terutama karena media sosial. Saat saya bermain di sana, Indonesia adalah negara yang sangat miskin, tetapi hampir semua orang punya smartphone, dan Instagram sangat populer di sana,” kata Jansen.
Kritik tersebut menggambarkan kekagumannya terhadap antusiasme masyarakat Indonesia di dunia maya. Namun, ia juga menyoroti sisi negatifnya: tekanan besar dari netizen yang kerap menyerang pemain jika gagal tampil baik.
“Kalau gagal mencetak gol, saya selalu disarankan untuk tidak membuka media sosial selama dua hari,” ujar Jansen sambil tertawa getir.
Tak heran, komentar Jansen memicu perdebatan hangat di kalangan pecinta sepakbola nasional. Banyak yang merasa ucapannya terlalu merendahkan, sementara sebagian lainnya menilai kritik itu bisa menjadi cerminan bahwa sepakbola Indonesia memang masih perlu banyak berbenah.
PSSI Terus Lakukan Pembenahan
Meski kritik Jansen terdengar pedas, PSSI di bawah kepemimpinan Erick Thohir terus menunjukkan keseriusan dalam memperbaiki kualitas sepakbola nasional. Salah satu fokus utama adalah pembinaan pemain usia muda melalui Elite Pro Academy (EPA) untuk kelompok usia U-16, U-18, dan U-20.
Langkah ini diharapkan bisa menjadi pondasi kuat bagi munculnya talenta lokal berkualitas yang siap bersaing di level internasional. Selain itu, PSSI juga berupaya meningkatkan kualitas kompetisi Liga 1 dengan memperbaiki standar wasit dan menerapkan teknologi Video Assistant Referee (VAR) untuk memastikan keadilan pertandingan.
Kebijakan tersebut dianggap sebagai tonggak penting menuju sepakbola profesional dan modern. Erick Thohir berulang kali menegaskan bahwa pembangunan sepakbola bukan hanya soal hasil pertandingan, tetapi juga pembenahan sistem dari akar rumput hingga tingkat tertinggi.
Perjalanan Panjang Timnas Indonesia
Meskipun Timnas Indonesia gagal lolos ke Piala Dunia 2026, perjalanan tim Garuda masih panjang. Kegagalan itu dianggap bukan akhir, melainkan awal dari proses yang lebih besar. Masih ada banyak ajang bergengsi yang menanti, seperti Piala AFF 2026, Piala Asia 2027, dan Kualifikasi Piala Dunia 2030 zona Asia.
Di sisi lain, kehadiran pemain diaspora seperti Jay Idzes, Kevin Diks, Thom Haye, dan Ragnar Oratmangoen menjadi harapan baru. Mereka membawa pengalaman dari kompetisi top Eropa yang bisa menular ke pemain lokal dan mempercepat transformasi gaya bermain tim nasional.
Meski demikian, banyak pengamat menilai bahwa naturalisasi bukan solusi utama. Pembinaan pemain muda dan perbaikan kompetisi domestik tetap menjadi kunci untuk meningkatkan kualitas sepakbola nasional secara berkelanjutan.
Optimisme di Tengah Kritik
Kritikan seperti yang dilontarkan Anco Jansen memang menyakitkan bagi sebagian penggemar. Namun, jika dilihat dari sisi positif, hal itu bisa menjadi pemicu semangat untuk berbenah. Banyak tokoh sepakbola nasional menilai, komentar tajam dari mantan pemain asing seharusnya menjadi bahan evaluasi, bukan bahan amarah.
PSSI kini juga bekerja sama dengan berbagai akademi sepakbola dan pihak swasta untuk memperkuat sistem pelatihan dan infrastruktur. Dari pembangunan stadion berstandar FIFA hingga peningkatan kesejahteraan pemain dan pelatih, langkah-langkah nyata terus dijalankan.
Seiring waktu, harapan besar muncul bahwa sepakbola Indonesia bisa bangkit dan membuktikan diri di kancah internasional. Meski jalan masih panjang, kerja keras yang konsisten diyakini akan membawa perubahan nyata.