Kenapa 5G di Indonesia Lemot? OpenSignal Bongkar Penyebab Utamanya!
- XDA
Gadget – Indonesia kerap disebut sebagai salah satu pasar digital terbesar di Asia Tenggara. Namun, di balik potensi besar itu, perkembangan jaringan 5G justru jalan di tempat. Laporan terbaru dari lembaga analisis jaringan global OpenSignal mengungkap akar masalah utamanya: alokasi spektrum frekuensi yang belum optimal.
Dalam laporan berjudul "Building ASEAN Digital Infrastructure: The Role of Spectrum", OpenSignal menyoroti bahwa Indonesia dan sebagian besar negara ASEAN masih gagal memanfaatkan pita frekuensi krusial untuk 5G, terutama pita 3,5 GHz—yang secara global dianggap sebagai sweet spot untuk keseimbangan antara kecepatan, kapasitas, dan jangkauan.
Artikel ini mengupas tuntas mengapa 5G Indonesia tertinggal, frekuensi apa saja yang masih terkunci, dampaknya terhadap masyarakat dan ekonomi digital, serta langkah strategis yang harus segera diambil pemerintah agar Indonesia tidak semakin tertinggal dalam lomba transformasi digital global.
Spektrum Frekuensi: Nyawa dari Jaringan 5G
Sebelum membahas lebih jauh, penting memahami satu prinsip dasar: 5G tidak bisa hidup tanpa spektrum frekuensi yang memadai. Spektrum adalah “jalan raya” tak kasat mata tempat data bergerak. Semakin lebar dan bersih jalannya, semakin cepat dan lancar lalu lintas data.
Ada tiga kategori utama spektrum 5G:
- Low-band (sub-1 GHz): seperti 700 MHz — jangkauan luas, cocok untuk pedesaan, tapi kecepatan terbatas.
- Mid-band (1–6 GHz): seperti 2,6 GHz dan 3,5 GHz — keseimbangan ideal antara kecepatan dan cakupan.
- High-band (mmWave, 24+ GHz): kecepatan ultra-tinggi, tapi jangkauan sangat pendek.
Di seluruh dunia, pita 3,5 GHz menjadi tulang punggung 5G. Namun di Indonesia, pita ini masih terikat dengan layanan satelit, sehingga tidak bisa dialokasikan penuh untuk jaringan seluler.
Fakta Mengejutkan dari Laporan OpenSignal
OpenSignal mencatat bahwa di kawasan ASEAN, pita upper mid-band (sekitar 3,5 GHz) menyumbang 66% dari total pengukuran spektrum aktif—tapi ironisnya, penggunaannya tidak merata.
Kondisi Indonesia:
- Pita 3,5 GHz belum sepenuhnya dialokasikan untuk 5G karena tumpang tindih dengan layanan satelit.
- Pita 700 MHz dan 2,6 GHz masih kosong, padahal sangat dibutuhkan untuk memperluas jangkauan dan kapasitas.
- Belum ada lelang spektrum baru oleh Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi).
- Akibatnya, sebagian besar operator masih mengandalkan 4G, bahkan untuk layanan yang diklaim “5G”.
OpenSignal memuji upaya operator seluler yang telah mematikan jaringan 2G/3G untuk mengosongkan spektrum. Namun, tanpa dukungan regulator dalam melepas frekuensi baru, transformasi 5G tidak akan pernah maksimal.
Dampak Nyata: Ketimpangan Digital dan Perlambatan Ekonomi
Keterlambatan alokasi spektrum bukan hanya soal kecepatan internet—melainkan menghambat seluruh ekosistem digital nasional.
1. Kesenjangan Urban–Rural Melebar
Tanpa pita 700 MHz (low-band), operator kesulitan membangun jaringan 5G di daerah terpencil. Akibatnya, desa dan kota kecil tetap terjebak di era 4G atau bahkan 3G, sementara Jakarta dan Surabaya menikmati kecepatan tinggi.
2. Investasi Infrastruktur Tertahan
Operator enggan berinvestasi besar-besaran jika spektrum tidak jelas. Padahal, membangun menara 5G membutuhkan biaya miliaran rupiah per lokasi. Tanpa kepastian alokasi, ROI (return on investment) jadi tidak menarik.
3. Indonesia Tertinggal dari Tetangga
Negara seperti Thailand, Vietnam, dan Singapura sudah mengalokasikan pita 3,5 GHz secara penuh. Hasilnya? Mereka mencatat kecepatan 5G rata-rata 3–5 kali lebih tinggi daripada Indonesia, menurut data OpenSignal.
Apa Kata Regulator? Komdigi Belum Bergerak Cepat
Hingga Oktober 2025, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) belum mengumumkan jadwal pasti lelang spektrum 700 MHz, 2,6 GHz, maupun penyelesaian migrasi satelit dari pita 3,5 GHz.
Padahal, rencana awal pelepasan 700 MHz sempat dijanjikan pada 2023, tetapi terus tertunda karena alasan teknis dan koordinasi antarlembaga.
Sementara itu, permintaan data terus melonjak. Menurut APJII, penetrasi internet Indonesia mencapai 77% pada 2025, dengan rata-rata penggunaan data per kapita naik 40% per tahun. Tanpa spektrum tambahan, jaringan akan semakin sesak, bahkan di era 4G sekalipun.
Solusi yang Direkomendasikan OpenSignal
Laporan OpenSignal tidak hanya mengkritik—tapi juga menawarkan solusi konkret:
1. Percepat Pelepasan Pita 700 MHz dan 2,6 GHz
Pita ini relatif “bersih” dan siap digunakan. Pelelangan segera akan memberi operator ruang untuk memperluas jangkauan dan kapasitas.
2. Selesaikan Migrasi Layanan Satelit dari 3,5 GHz
Koordinasi dengan lembaga antariksa dan operator satelit harus dipercepat. Beberapa negara menggunakan pendekatan clearing and repacking—memindahkan layanan satelit ke frekuensi lain secara bertahap.
3. Harmonisasi Spektrum di Tingkat ASEAN
Jika semua negara ASEAN menggunakan pita yang sama, biaya perangkat (seperti smartphone 5G) akan turun, dan ekosistem digital regional bisa terintegrasi.
4. Kebijakan yang Mendukung Investasi Jangka Panjang
Misalnya, masa berlaku lisensi spektrum diperpanjang (dari 10 ke 15–20 tahun), sehingga operator lebih berani berinvestasi.
Peran Masyarakat dan Dunia Usaha
Meski kebijakan spektrum adalah domain pemerintah, masyarakat dan pelaku usaha juga punya peran:
- Konsumen bisa mendorong permintaan 5G dengan membeli perangkat kompatibel.
- Startup dan UMKM digital bisa menyuarakan kebutuhan konektivitas andal.
- Asosiasi industri seperti ATSI dan GSMA bisa menjadi jembatan dialog antara regulator dan operator.
- Tanpa tekanan dari bawah, perubahan kebijakan sering kali berjalan lambat.
Kesimpulan: Spektrum Bukan Sekadar Frekuensi—Tapi Masa Depan Digital Indonesia
OpenSignal telah memberikan “diagnosis” yang jelas: 5G Indonesia tertinggal bukan karena kurangnya teknologi atau modal, tapi karena spektrum frekuensi yang belum dilepaskan.
Ini bukan masalah teknis semata—melainkan uji komitmen pemerintah terhadap transformasi digital nasional. Jika Indonesia ingin menjadi pemain utama ekonomi digital ASEAN, alokasi spektrum harus jadi prioritas nasional.
Tanpa itu, klaim “Indonesia sebagai kekuatan digital Asia” hanyalah retorika kosong. Waktunya bertindak—sebelum keterlambatan hari ini menjadi penyesalan di masa depan.
| Dapatkan informasi terbaru seputar Gadget, Anime, Game, Tech dan Berita lainnya setiap hari melalui social media Gadget VIVA. Ikuti kami di : | |
|---|---|
| @gadgetvivacoid | |
| Gadget VIVA.co.id | |
| X (Twitter) | @gadgetvivacoid | 
| Whatsapp Channel | Gadget VIVA | 
| Google News | Gadget | 
 
	         
             
           
              
     
              
     
              
     
              
     
              
     
              
     
     
     
     
     
     
                   
                   
                   
                   
                   
     
     
     
     
    