Tarif Ojol Naik 15%, Maxim Kasih Peringatan: Driver Bisa Kena Imbas Besar!
- Maxim
Kebijakan pemerintah melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) terkait rencana kenaikan tarif ojek online (ojol) hingga 15% menuai sorotan tajam dari penyedia layanan transportasi daring, Maxim. Mereka menyuarakan kekhawatiran bahwa langkah tersebut bisa berdampak negatif tidak hanya bagi konsumen, tetapi juga terhadap keberlangsungan para mitra pengemudi di lapangan.
Dalam keterangan resmi yang dirilis Rabu (2/7/2025), Government Relation Specialist Maxim Indonesia, Muhammad Rafi Assagaf, mengungkapkan bahwa kebijakan tarif harus dipertimbangkan secara komprehensif. Menurutnya, setiap keputusan yang menyangkut sektor transportasi daring semestinya dibuat dengan melibatkan semua pihak, mulai dari aplikator, pengemudi, hingga konsumen.
“Kami melihat bahwa rencana kenaikan tarif pada layanan transportasi daring harus dikaji ulang secara menyeluruh dengan melibatkan seluruh stakeholder,” tegas Rafi.
Dampak Langsung ke Konsumen
Jika tarif ojol naik, tentu konsumen akan menjadi pihak pertama yang merasakan efeknya. Dengan biaya perjalanan yang lebih mahal, masyarakat kemungkinan akan menurunkan frekuensi penggunaan layanan transportasi online, terutama untuk jarak pendek yang selama ini cukup bergantung pada ojol.
Sebagai gambaran, tarif yang lebih tinggi bisa memicu dua efek utama: waktu penjemputan menjadi lebih lama, dan angka pembatalan pesanan ikut meningkat. Kombinasi ini pada akhirnya menurunkan kenyamanan pengguna dan membuat mereka beralih ke moda transportasi lain yang lebih terjangkau.
Lebih jauh, Maxim memperingatkan bahwa lonjakan harga berisiko membuat transportasi daring tidak lagi menjadi pilihan utama masyarakat kelas menengah ke bawah yang sebelumnya mengandalkan ojol untuk mobilitas harian dan usaha kecil.
Driver Terjepit di Tengah
Ironisnya, para mitra pengemudi yang semestinya diuntungkan oleh kenaikan tarif justru bisa terdampak secara negatif. Dalam praktiknya, ketika tarif naik dan permintaan turun, maka order yang masuk ke driver pun ikut menurun. Ini berarti potensi pendapatan justru akan menurun, bukan naik seperti yang diharapkan.
Maxim merujuk pada sejumlah data dari daerah untuk mendukung argumennya. Misalnya di Kalimantan Timur, saat tarif ojol dinaikkan, terjadi lonjakan pembatalan pesanan hingga 37%. Di Makassar dan Palopo, kenaikan tarif pada 2022 justru membuat permintaan perjalanan anjlok sebesar 50% hanya dalam dua minggu setelah kebijakan diberlakukan.
Tidak berhenti di situ, lebih dari 30% pengguna di wilayah tersebut memilih berhenti menggunakan layanan, sementara sekitar 20% lainnya mengurangi frekuensi pemesanan.
“Ketidakseimbangan antara permintaan konsumen dan sumber daya yang tersedia akibat kenaikan tarif akan membuat perusahaan sulit bertahan untuk terus beroperasi di Indonesia,” terang Rafi.
Ancaman Terhadap Ekosistem Digital
Maxim menyebut, rencana kenaikan tarif ini bukan hanya soal naiknya ongkos. Lebih dari itu, ini adalah isu tentang kelangsungan ekosistem transportasi daring secara keseluruhan. Jika permintaan terus turun, aplikator pun akan menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan operasional mereka. Ini bisa berdampak sistemik terhadap industri teknologi digital yang sedang berkembang pesat di Indonesia.
Maxim menilai, keputusan kenaikan tarif tidak bisa hanya dilihat dari satu sisi, seperti kepentingan driver atau aplikator. Yang lebih penting adalah keseimbangan antara daya beli masyarakat, biaya operasional perusahaan, dan penghasilan mitra di lapangan.
Seruan kepada Pemerintah
Dengan mempertimbangkan semua faktor tersebut, Maxim secara terbuka meminta Kemenhub untuk tidak tergesa-gesa dalam menaikkan tarif ojol. Perusahaan ini menilai, kondisi ekonomi masyarakat saat ini masih dalam tahap pemulihan, dan daya beli masih cukup rapuh. Kenaikan tarif tanpa kajian menyeluruh hanya akan memperparah kondisi.
"Jika masyarakat tidak lagi mampu membayar layanan transportasi daring, maka bukan hanya konsumen yang dirugikan, tetapi juga mitra pengemudi dan aplikator itu sendiri," ujar Rafi.
Selain mempertimbangkan aspek ekonomi, Maxim juga mendorong agar pemerintah membuat kebijakan berbasis data dan riset lapangan. Dengan demikian, keputusan yang diambil bisa lebih akurat dan berkelanjutan.