Tiongkok Kecam Keras Sanksi AS Terhadap Pejabat Palestina, Sebut Menghambat Perdamaian
- ANTARA (Desca Lidya Natalia)
Gadget – Pemerintah Tiongkok secara terbuka menyatakan kekecewaannya terhadap kebijakan Amerika Serikat (AS) yang menjatuhkan sanksi berupa penolakan penerbitan visa bagi para pejabat Otoritas Palestina dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Beijing menilai, tindakan Washington ini bertolak belakang dengan upaya perdamaian yang didukung oleh komunitas internasional.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Guo Jiakun, dalam konferensi pers pada Jumat (1/8/2025), mengungkapkan kekagetan dan ketidakpahaman Tiongkok atas kebijakan AS. "Kami sangat terkejut dengan sanksi AS terhadap pejabat Otoritas Palestina. Kami merasa kecewa dan sulit memahami bahwa AS terus menutup mata terhadap upaya internasional untuk perdamaian," ujar Guo.
Sanksi AS: Sebuah Penghalang atau Alat Tekan?
Departemen Luar Negeri AS mengumumkan sanksi tersebut pada Kamis (31/7/2025), namun tidak merinci nama-nama pejabat yang terkena sanksi. Kebijakan ini diberlakukan menjelang Sidang Umum PBB pada September mendatang, yang secara efektif akan menghambat kehadiran para pejabat Palestina dalam pertemuan penting tersebut.
Sanksi ini dilatarbelakangi oleh beberapa alasan utama, yang dinilai AS sebagai pelanggaran terhadap undang-undang PLO Commitments Compliance Act of 1989 (PLOCCA) dan Middle East Peace Commitments Act of 2002 (MEPCA). Alasan-alasan tersebut mencakup:
Upaya Menginternasionalisasi Konflik: AS menyoroti langkah Otoritas Palestina untuk membawa isu konflik dengan Israel ke ranah internasional, seperti Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dan Mahkamah Internasional (ICJ). AS melihat langkah ini sebagai upaya untuk memperkeruh situasi.
- Baca Juga :Warga Gaza Kecam Kunjungan Utusan Trump, Sebut Hanya Pencitraan di Tengah Krisis Kemanusiaan
Dukungan terhadap Terorisme: AS menuduh Otoritas Palestina mendukung terorisme, termasuk dengan melakukan hasutan dan glorifikasi kekerasan melalui buku teks, serta memberikan tunjangan finansial kepada para teroris dan keluarga mereka.
Keputusan ini memicu perdebatan sengit tentang apakah sanksi tersebut merupakan upaya sah untuk menekan perilaku yang tidak diinginkan, ataukah justru merupakan langkah politik yang menghalangi jalan menuju perdamaian yang adil.