Trump Bidik Arab Saudi untuk Normalisasi Hubungan dengan Israel Pasca Perang Gaza
- lifehack
Setelah perang Gaza dinyatakan berakhir dan gencatan senjata antara Israel dan Hamas tercapai, mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali muncul dengan ambisi politik luar negerinya. Ia menyatakan harapan besar untuk memperluas Abraham Accords—kesepakatan bersejarah yang menormalisasi hubungan diplomatik Israel dengan sejumlah negara Arab dan Muslim. Dalam pandangannya, langkah berikut yang paling strategis adalah menarik Arab Saudi untuk bergabung dalam perjanjian tersebut.
Trump mengungkapkan hal itu dalam wawancara eksklusif dengan Fox Business Network, Sabtu (18/10/2025). “Saya berharap Arab Saudi akan ikut serta, dan setelah itu, negara-negara lain akan mengikuti jejaknya. Begitu Riyadh bergabung, saya yakin seluruh kawasan akan ikut serta,” ujarnya penuh keyakinan.
Pernyataan Trump ini menandai upaya baru AS untuk memperkuat pengaruhnya di Timur Tengah setelah masa konflik berkepanjangan antara Israel dan kelompok Hamas. Dalam konteks geopolitik, Arab Saudi dipandang sebagai kunci utama stabilitas kawasan. Negara kaya minyak itu memiliki pengaruh besar di dunia Arab dan Muslim, sehingga keputusannya untuk menormalisasi hubungan dengan Israel bisa mengubah peta diplomasi regional secara drastis.
Trump pun tak lupa menegaskan kembali peran pentingnya dalam menandatangani Abraham Accords pada tahun 2020. Kesepakatan itu tercapai antara Israel dan Uni Emirat Arab (UEA) ketika ia masih menjabat sebagai presiden. “Itu adalah keajaiban diplomasi yang luar biasa,” ujar Trump. “Kesepakatan tersebut membawa angin segar bagi perdamaian di Timur Tengah.”
Setelah UEA, tiga negara Arab lainnya—Bahrain, Maroko, dan Sudan—mengikuti langkah serupa dan menjalin hubungan resmi dengan Israel. Namun, di balik deretan kesepakatan itu, ada dinamika politik yang kompleks. Tidak semua negara bergabung karena kemauan sendiri. Misalnya, Sudan dikabarkan melunak setelah menerima tekanan ekonomi dari Washington, termasuk janji penghapusan utang dan bantuan finansial.
Meski tampak menjanjikan di atas kertas, upaya memperluas Abraham Accords bukan tanpa hambatan. Arab Saudi, sebagai negara yang memiliki posisi sentral dalam dunia Islam, berulang kali menegaskan bahwa normalisasi dengan Israel hanya bisa dilakukan jika Palestina terlebih dahulu mendapatkan kemerdekaan penuh dan diakui sebagai negara berdaulat.
Pernyataan itu konsisten disampaikan oleh Riyadh di berbagai forum internasional, termasuk dalam pertemuan Liga Arab dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). “Posisi kami jelas. Tidak akan ada normalisasi tanpa solusi dua negara dan tanpa berdirinya negara Palestina merdeka,” kata Menteri Luar Negeri Saudi dalam pernyataannya beberapa waktu lalu.
Selain faktor politik dan solidaritas terhadap Palestina, terdapat pula kendala teknis yang berpotensi menggagalkan ambisi Trump. Salah satunya adalah perdebatan soal tawaran Amerika Serikat kepada Arab Saudi berupa transfer teknologi nuklir untuk tujuan damai. Dalam rencana itu, AS siap membantu Saudi mengembangkan energi nuklir sipil sebagai bagian dari imbalan normalisasi dengan Israel.
Namun, ide ini langsung mendapat penolakan keras dari pihak Israel. Pemerintah Israel menilai kesepakatan semacam itu bisa membuka peluang bagi Riyadh untuk mengembangkan senjata nuklir di masa depan, sama seperti yang dicurigai terjadi di Iran. Kekhawatiran itu menjadi alasan utama mengapa Israel belum memberikan persetujuan terhadap paket kesepakatan yang diusulkan Washington.
Sementara itu, di tengah wacana normalisasi baru ini, kondisi di lapangan masih jauh dari tenang. Meski gencatan senjata telah disepakati, hubungan Israel dan Hamas tetap tegang. Beberapa laporan menyebutkan bahwa perbatasan Rafah di selatan Gaza belum sepenuhnya dibuka, meski sebelumnya dijanjikan oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Hal itu memicu kecaman keras dari pihak Hamas yang menyebut Israel bertindak fasis dan ingkar janji.
Di sisi lain, negara-negara yang telah menandatangani Abraham Accords juga mulai menunjukkan tanda-tanda ketidakpuasan. Uni Emirat Arab, misalnya, belakangan dikabarkan mengancam akan menurunkan level hubungan diplomatiknya dengan Israel. Ketegangan itu muncul karena Israel dianggap gagal menahan agresinya di Gaza dan tidak menunjukkan komitmen nyata terhadap solusi damai bagi Palestina.
Jika situasi ini terus berlanjut, maka fondasi Abraham Accords yang dibangun pada masa pemerintahan Trump bisa goyah. Bahkan, beberapa analis menilai bahwa langkah UEA untuk mempertimbangkan kembali hubungannya dengan Israel bisa menjadi sinyal buruk bagi masa depan perjanjian tersebut.
Meski demikian, Trump tetap optimistis. Ia meyakini bahwa perdamaian di Timur Tengah masih mungkin tercapai jika ada kepemimpinan kuat dan kemauan politik dari semua pihak. “Kami telah membuka jalan bagi perdamaian yang abadi di kawasan ini. Sekarang tinggal bagaimana negara-negara lain melanjutkannya,” kata Trump.
Dalam konteks yang lebih luas, langkah Trump juga dipandang sebagai upaya memperkuat citranya menjelang pemilihan presiden AS berikutnya. Dengan menghidupkan kembali diplomasi Abraham Accords, ia ingin menegaskan bahwa pendekatan keras namun pragmatis yang ia terapkan sebelumnya masih relevan untuk menyelesaikan konflik Timur Tengah.
Meski banyak pihak skeptis terhadap keberhasilan misi ini, upaya Trump untuk menggandeng Arab Saudi tetap menjadi isu strategis yang akan terus diperhatikan dunia. Jika Riyadh akhirnya setuju untuk menormalisasi hubungan dengan Israel, dampaknya akan sangat besar—baik secara diplomatik, ekonomi, maupun geopolitik. Namun, jika penolakan Saudi tetap konsisten, maka Abraham Accords bisa kehilangan momentum dan hanya menjadi catatan sejarah tentang mimpi besar perdamaian yang belum terwujud.
Dengan segala dinamika dan tantangan yang ada, satu hal menjadi jelas: perjalanan menuju perdamaian di Timur Tengah masih panjang. Perang Gaza mungkin telah berakhir, tetapi diplomasi dan perebutan pengaruh di kawasan itu baru saja dimulai.